Skip to Content

PBB NAIK, AROGANSI BUPATI DAN AMARAH PATI

Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

Opini - Gelombang kritik terhadap kepemimpinan Bupati Pati menguat dalam beberapa pekan terakhir. Pemicu utamanya adalah kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dianggap memberatkan, diperparah oleh pernyataan sang bupati yang dinilai arogan dan melukai perasaan publik. Di berbagai linimasa media sosial, tagar dan desakan agar bupati mengundurkan diri bergema, menjadi perbincangan publik di warung kopi hingga forum resmi.


Fenomena ini menarik untuk dibedah dari perspektif hukum tata negara dan hukum pemerintahan daerah. Sebab, desakan mundur seorang kepala daerah bukan sekadar persoalan moral atau politik, tetapi juga berkaitan dengan mekanisme konstitusional dan tata kelola pemerintahan.


Secara konstitusional dalam sistem pemerintahan daerah Indonesia, kepala daerah memperoleh legitimasi melalui pemilihan langsung oleh rakyat (Pasal 18 ayat (4) UUD 1945). Legitimasi ini bersifat politik sekaligus legitimasi hukum  karena didapat melalui dukungan suara da  diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.


Secara hukum, pengunduran diri kepala daerah hanya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu Pengunduran diri sukarela (Pasal 78 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) dan Pemberhentian oleh Presiden (untuk gubernur) atau Menteri Dalam Negeri (untuk bupati/wali kota) berdasarkan usulan DPRD, jika memenuhi alasan yang diatur undang-undang (misalnya pelanggaran sumpah jabatan, perbuatan tercela, tidak lagi memenuhi syarat jabatan, atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan).


Tuntutan publik agar bupati mundur tidak memiliki daya paksa hukum langsung, kecuali diikuti proses politik di DPRD dan pembuktian hukum yang sah. Namun, dalam perspektif hukum tata negara, krisis legitimasi politik akibat kehilangan kepercayaan rakyat dapat menjadi pintu masuk proses pemakzulan melalui instrumen politik di DPRD.


Kenaikan PBB di Kabupaten Pati memang secara formal berada dalam kewenangan pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 286 UU Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, daerah memiliki hak menetapkan tarif pajak daerah dalam koridor batas maksimum yang ditentukan peraturan perundang-undangan.


Namun, kebijakan fiskal seperti kenaikan PBB tidak boleh dilepaskan dari prinsip asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), khususnya asas kepentingan umum, asas keterbukaan, dan asas proporsionalitas (Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan). Peningkatan tarif pajak yang dilakukan tanpa komunikasi publik yang memadai, apalagi dibarengi pernyataan yang dianggap merendahkan, dapat menciptakan jarak psikologis antara pemerintah dan rakyat.


Konflik yang terjadi di Pati menunjukkan bukan hanya persoalan substansi kebijakan, tetapi juga masalah komunikasi politik dan etika pemerintahan. Dalam hukum pemerintahan daerah, setiap kepala daerah terikat kewajiban moral dan hukum untuk menjaga kepercayaan publik sebagai bagian dari akuntabilitas politiknya.


Kebijakan publik yang berimplikasi pada beban ekonomi masyarakat di tengah situasi yang serba sulit memerlukan sensitivitas yang lebih bagi para pejabat. Kenaikan PBB yang dinilai tajam di Kabupaten Pati memperkuat persepsi bahwa pemerintah daerah kurang mempertimbangkan daya beli rakyat. Ditambah tantangan atau pernyataan bupati yang dinilai arogan, hal ini membentuk narasi bahwa pemerintah daerah kehilangan empati terhadap warganya.


Menurut penulis, dalam teori hubungan antara pemerintah dan rakyat, legitimasi bukan hanya diperoleh di awal masa jabatan melalui pemilu, tetapi harus dipelihara setiap saat melalui kebijakan yang adil dan komunikasi yang etis. Ketika legitimasi melemah, tekanan politik dapat meningkat hingga mengarah pada tuntutan mundur.


Oleh karena itu, menurut hemat penulis Pemerintah Kabupaten Pati perlu melakukan evaluasi terhadap kenaikan PBB dengan melibatkan DPRD, akademisi, tokoh masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan. Mekanisme public hearing dapat menjadi sarana mendengar aspirasi sekaligus mencari titik temu tarif pajak yang proporsional. Secara etis dan politis, bupati dapat mengeluarkan pernyataan maaf atas ucapan yang menyinggung masyarakat. Dalam budaya politik lokal, permintaan maaf yang tulus sering kali menjadi pintu rekonsiliasi yang efektif.


Selain itu, DPRD memiliki peran strategis dalam mengawasi kebijakan fiskal daerah. DPRD dapat memanfaatkan hak interpelasi atau hak angket untuk mengkaji proses penetapan tarif PBB dan menilai apakah terdapat pelanggaran prosedural atau asas pemerintahan yang baik.


Membuka ruang dialog dua arah melalui forum tatap muka atau musyawarah  dapat mengurai kesalahpahaman dan mengembalikan komunikasi yang sehat antara rakyat dan pemimpinnya. Pemerintah daerah bersama civil society dapat meningkatkan literasi publik terkait fungsi pajak daerah, alokasi penggunaannya, dan mekanisme keberatan jika masyarakat merasa dirugikan.


Kasus di Kabupaten Pati menjadi cermin pentingnya kepemimpinan yang sensitif terhadap aspirasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dalam bingkai hukum tata negara dan pemerintahan daerah, desakan mundur bupati adalah ekspresi politik yang sah dalam demokrasi, namun mekanisme hukumnya tetap memerlukan prosedur formal. Yang lebih penting dari sekadar perdebatan mundur atau tidaknya kepala daerah adalah bagaimana pemerintah daerah merespons kritik dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat, komunikasi yang santun, dan transparansi yang dapat memulihkan legitimasi.


Demokrasi lokal bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kekuasaan dijalankan untuk melayani dan menghormati rakyat.

MPL Mobile Legends: Peluang Ekonomi Kreatif dalam Perspektif Akuntansi Syariah
Penulis: Muhammad Ibnu Fatih S. (Mahasiswa Akuntansi Syariah – Peserta Program Semester Antara MK Bahasa Indonesia)