Skip to Content

Nasionalisme Religius, Perekat Indonesia yang Beragam

Oleh: Amelia, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab, IAIN Parepare
October 26, 2025 by
Nasionalisme Religius, Perekat Indonesia yang Beragam
Humas IAIN Parepare

Opini - Survei Lembaga Survei Indonesia (2023) mencatat, lebih dari separuh generasi muda merasa nasionalismenya mulai melemah. Media sosial dan budaya global yang serbacepat diyakini menjadi salah satu penyebabnya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana menumbuhkan kembali rasa cinta tanah air di tengah derasnya arus globalisasi?

 

Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 270 juta jiwa, tersebar di 34 provinsi, dengan keragaman bahasa, budaya, dan agama. Menjaga persatuan dalam perbedaan jelas bukan perkara mudah. Namun sejarah menunjukkan, para ulama dan tokoh agama justru berada di garda terdepan perjuangan kemerdekaan 1945. Mereka memadukan semangat keagamaan dan nasionalisme dalam satu nafas perjuangan yang sama.

 

Kemerdekaan bangsa ini bukan semata hasil perjuangan politik dan militer, melainkan juga spiritual. Para ulama menentang penjajahan bukan hanya demi kedaulatan tanah air, tetapi juga demi menjaga martabat manusia sesuai nilai-nilai ilahi. Dari situlah lahir ungkapan yang kini begitu akrab di telinga kita: hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah bagian dari iman.

 

Al-Qur’an menegaskan,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

 

Ayat ini mengandung pesan yang dalam bahwa perubahan sejati hanya mungkin terwujud jika bangsa membangun dirinya dengan iman, solidaritas, dan kerja keras. Inilah inti dari nasionalisme religius, menjadikan agama bukan alat pemecah, melainkan sumber energi moral untuk menyatukan bangsa.

 

Kini, pada abad ke-21, tantangan baru muncul. Generasi Z dan milenial  yang jumlahnya mencapai sekitar 60% populasi Indonesia  hidup dalam era digital yang membuka akses tanpa batas pada budaya global. Di satu sisi, hal ini memperkaya wawasan; namun di sisi lain, juga berpotensi melunturkan identitas, menumbuhkan individualisme, dan mengikis solidaritas sosial.

 

Sebagian orang berpandangan bahwa nasionalisme cukup ditegakkan melalui kebijakan negara dan hukum formal. Namun pengalaman sejarah membuktikan, aturan tanpa moral ibarat tubuh tanpa jiwa. Nasionalisme tanpa nilai religius mudah tergelincir menjadi slogan kosong. Justru nilai-nilai keagamaan seperti keadilan, kejujuran, dan kasih sayanglah yang memberi ruh dan kedalaman pada cinta tanah air.

 

Banyak negara berhasil memadukan spiritualitas dan kebangsaan. Di Malaysia, pendidikan kewarganegaraan dipadukan dengan pendidikan agama untuk memperkuat identitas nasional. Sementara di Finlandia, literasi digital menjadi kurikulum wajib agar generasi muda mampu menyaring arus informasi global tanpa kehilangan jati dirinya.

 

Indonesia dapat belajar dari keduanya, menanamkan nilai kebangsaan lewat pendidikan kewarganegaraan, sekaligus memperkuat moderasi beragama agar cinta tanah air tidak terjebak dalam politik identitas atau ekstremisme keagamaan.

 

Nasionalisme religius bukanlah konsep baru. Ia adalah warisan sejarah yang lahir dari peluh, doa, dan perjuangan para ulama serta rakyat Indonesia. Kini, tugas kita adalah menghidupkannya kembali dalam konteks zaman yang berubah dengan meneguhkan iman, memperkuat solidaritas, dan menumbuhkan semangat kebangsaan yang inklusif. Sejatinya, cinta tanah air tidak cukup hanya diucapkan. Ia harus diwujudkan, di dunia nyata, di ruang digital, dan di hati setiap anak bangsa.

 

Hari Santri dan Pelajaran Etika Media