Skip to Content

Nama Menteri Dalam Sindikat Judi Online

Oleh : Rusdianto Sudirman (Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare)

Opini - Nama seorang menteri disebut dalam surat dakwaan perkara judi online. Tak main-main, ia disebut menerima jatah 50 persen dari keuntungan aktivitas ilegal itu. Ini bukan kabar burung, bukan pula sekadar rumor politik. Penyebutan itu muncul dalam dokumen resmi negara surat dakwaan jaksa penuntut umum. Tapi publik bertanya-tanya, mengapa menteri itu belum juga dipanggil, diperiksa, apalagi dijadikan tersangka?


Fenomena ini bukan sekadar perkara penegakan hukum yang macet. Ia menggambarkan jurang ketimpangan perlakuan hukum, menunjukkan betapa tajamnya hukum ke bawah dan tumpul ke atas.


Dalam hukum pidana, surat dakwaan adalah bagian integral dari proses peradilan pidana. Dakwaan bukan sekadar rangkaian narasi, melainkan hasil dari proses penyidikan dan penyelidikan yang telah mendalami alat bukti. Maka, ketika nama seseorang disebut dalam dakwaan apalagi dengan posisi penting seperti menteri negara maka semestinya penegak hukum tak bisa tinggal diam. Terlebih jika yang disebut bukan hanya pelaku pasif, melainkan penerima jatah keuntungan.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebut, "yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana" dapat dipidana sebagai pelaku. Maka, jika menteri tersebut menerima pembagian keuntungan dari kejahatan judi online, apalagi sampai 50 persen, ia bukan sekadar penonton. Ia patut diduga sebagai pelaku, minimal turut serta (medepleger) dalam tindak pidana tersebut.


Apalagi, dalam yurisprudensi Mahkamah Agung dan doktrin hukum pidana modern, siapa pun yang memperoleh manfaat langsung dari kejahatan dan mengetahui asal-usul keuntungan tersebut, bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, termasuk dengan konstruksi pasal tentang penadah (Pasal 480 KUHP), atau bahkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jika aliran uang disamarkan.


Namun, masalahnya bukan semata-mata soal konstruksi hukum pidana. Kita menghadapi persoalan mendasar mengapa proses hukum seperti terhenti di tengah jalan?


Padahal, dalam perkara biasa, ketika seseorang disebut dalam dakwaan sebagai penerima suap, gratifikasi, atau hasil kejahatan, biasanya kejaksaan atau penyidik KPK segera melakukan pengembangan. Bahkan sering kali hanya berdasarkan keterangan saksi, seseorang bisa dijadikan tersangka. Namun, ketika yang disebut adalah seorang menteri, tokoh elite dalam kabinet pemerintahan proses hukum tampak mandek.


Ini menunjukkan adanya diskriminasi penegakan hukum yang sangat terang. Bahkan bisa dikatakan, negara secara sistemik membiarkan kejahatan dilakukan oleh orang-orang tertentu tanpa takut akan tuntutan hukum. Sebuah kondisi yang disebut sebagai impunitas terstruktur.


Jika penyebutan nama dalam surat dakwaan tidak ditindaklanjuti, maka konsekuensinya adalah kemunduran hukum yang sangat dalam. Hukum pidana tidak lagi menjadi alat kontrol sosial, tapi hanya menjadi alat kekuasaan yang bekerja secara selektif. Kredibilitas lembaga penegak hukum pun akan runtuh, dan kepercayaan publik akan makin tergerus.


Kejahatan judi online sendiri sudah menjadi fenomena sosial yang merusak banyak sendi kehidupan. Ia bukan sekadar pelanggaran norma hukum, tetapi juga menggerogoti ekonomi rumah tangga, mendorong tindak kriminal lanjutan, dan memperburuk kondisi sosial masyarakat.


 Ketika kejahatan ini justru dinikmati hasilnya oleh pejabat negara, maka yang terjadi adalah pelembagaan kejahatan (institutionalized crime) dalam struktur kekuasaan.


Negara semestinya bertindak cepat. Jika Kejaksaan tidak mau mengembangkan penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semestinya mengambil alih. KPK diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk menangani perkara yang melibatkan penyelenggara negara, apalagi dengan nilai kerugian negara yang besar dan perhatian publik yang tinggi. Namun sayangnya, KPK hari ini lebih sering kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan aktor politik.

Tidak cukup alasan bagi aparat penegak hukum untuk berdiam diri. Jika alasan mereka adalah “menunggu alat bukti lain”, maka seharusnya penyelidikan bisa dimulai segera. Penyebutan nama dalam dakwaan merupakan langkah awal, bukan penghalang. Tidak ada larangan hukum bagi jaksa untuk membuka penyelidikan baru atas nama-nama yang muncul dalam perkara berbeda. Bahkan hal ini merupakan kewajiban moral dan hukum dari aparat penegak hukum.


Dalam sejarah hukum pidana kita, banyak perkara besar justru bermula dari pengembangan perkara kecil. Skandal korupsi e-KTP, misalnya, menjaring sejumlah nama besar setelah proses hukum terus dikembangkan. Tapi jika nama-nama penting yang disebut dalam dakwaan dibiarkan begitu saja, maka ini menandai kemunduran prinsip due process of law. Ini adalah bukti bahwa supremasi hukum belum benar-benar menjadi kenyataan.


Masyarakat berhak tahu kebenaran. Dan yang paling penting, masyarakat berhak melihat hukum bekerja dengan adil dan tidak pandang bulu. Jika hukum hanya dipakai untuk menghukum rakyat kecil, maka negara ini sedang kehilangan arah keadilannya.


Kasus ini harus diusut tuntas. Jika tidak, bukan hanya hukum yang akan mati pelan-pelan, tetapi juga kepercayaan rakyat kepada negara.

Diskualifikasi Semua Paslon, MK Bukan Lagi Mahkamah Kalkulator
Oleh : Rusdianto SudirmanDosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare