“Dari 7.000 bahasa di dunia, 70% terancam punah karena tidak lagi diwariskan antargenerasi.” (UNESCO, 2015)
Data ini seharusnya membuat kita terperanjat. Di tengah derasnya arus globalisasi, beberapa bahasa daerah di Sulawesi Selatan, seperti bahasa Konjo, Makassar klasik, atau Enrekang kini menghadapi ancaman yang nyata: perlahan ditinggalkan oleh penuturnya sendiri.
Bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi, tetapi penanda identitas dan wadah kebijaksanaan lokal. Dalam setiap kata dan ungkapan, tersimpan nilai-nilai kearifan, tata krama, dan sejarah panjang masyarakat. Namun, di era modern, bahasa-bahasa ini mulai tersisih. Di rumah-rumah perkotaan, orang tua lebih sering berbicara dengan anak-anaknya dalam bahasa Indonesia, bahkan dalam bahasa asing. Bahasa ibu pun kehilangan ruang hidupnya.
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut para ahli sebagai pergeseran bahasa: ketika bahasa lokal dianggap kurang bergengsi dibanding bahasa dominan. Di Sulawesi Selatan, anak-anak muda kini lebih fasih berbahasa Indonesia atau campuran bahasa gaul daripada bahasa daerah leluhur mereka. Padahal, menurut laporan UNESCO, hanya sekitar 30% bahasa di dunia yang masih berhasil diwariskan ke generasi berikutnya. Jika pola ini terus berlanjut, bukan hanya kosakata yang hilang, melainkan juga pantun, peribahasa, dan cerita rakyat yang menjadi napas budaya lokal.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa memprioritaskan bahasa Indonesia adalah hal wajar karena ia merupakan bahasa pemersatu bangsa. Pandangan ini ada benarnya, tetapi menjadi keliru jika dijadikan alasan untuk menyingkirkan bahasa daerah. Sumpah Pemuda 1928 mengajarkan kita untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bukan sebagai bahasa yang meniadakan bahasa daerah. Justru dari keberagaman bahasa itulah semangat persatuan tumbuh—karena cinta terhadap Indonesia lahir dari cinta terhadap akar budayanya.
Bahasa Indonesia dan bahasa daerah bukanlah dua arus yang bertentangan. Keduanya saling menguatkan: bahasa Indonesia menyatukan, bahasa daerah mengakar. Konstitusi pun menegaskan hal ini. UUD 1945 Pasal 36 dan UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 42 mewajibkan negara melindungi bahasa daerah. Maka, menjaga bahasa daerah di Sulawesi Selatan bukan sekadar tindakan sentimental, tetapi amanat konstitusi sekaligus wujud nyata semangat Sumpah Pemuda, bersatu tanpa kehilangan jati diri.
Biodata Penulis
Nama: Alvian harun
Lahir pada tanggal 28-desember-2006
Status: mahasiswa
Saat ini penulis sedang menempuh kuliah di Institut agama Islam negeri (IAIN) pare pare, dengan mengambil jurusan pendidikan bahasa arab,
Penulis berharap moderasi beragama dapat terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ,agar tercipta sikap saling menghormati, toleransi,dan kedamaian ditengah perbedaan.