Skip to Content

Inklusi Sosial sebagai Bentuk Kepahlawanan

Oleh : Badruzzaman Nawawi (Dosen HTN IAIN Parepare)
November 10, 2025 by
Inklusi Sosial sebagai Bentuk Kepahlawanan
Humas IAIN Parepare
Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah; perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” -- Soekarno

Di era digital yang serba cepat ini, makna kepahlawanan perlu diperbarui. Pahlawan tidak lagi hanya mereka yang berperang di medan tempur atau berdiri di depan podium. Pahlawan masa kini adalah mereka yang membuka ruang untuk yang terpinggirkan, yang melawan ketidakadilan sosial, dan yang memperjuangkan sistem yang berpihak pada semua, bukan hanya pada segelintir orang.

John Rawls, filsuf asal Harvard, dalam A Theory of Justice (1971) mengajarkan bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang memberi manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung. Ia menyebutnya difference principle, prinsip yang menolak ketimpangan jika tidak menguntungkan kaum lemah. Dalam konteks Indonesia, prinsip ini hidup dalam sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bung Karno dulu berjuang melawan kolonialisme fisik; kini generasi kita berjuang melawan kolonialisme sosial dan sistemik, diskriminasi, ketimpangan akses, dan bias struktural. Kepahlawanan hari ini berarti menolak diam di hadapan ketidakadilan: memperjuangkan hak disabilitas, kesetaraan gender, keberagaman, dan keadilan ekologis.

Tokoh-tokoh dunia seperti Malala Yousafzai dan Greta Thunberg menunjukkan bahwa pahlawan masa kini tidak harus berkuasa — cukup berani berkata benar di hadapan struktur yang salah. Keduanya memperjuangkan hak dasar: pendidikan dan lingkungan. Di Indonesia, semangat itu hidup pada mereka yang mendobrak sistem diskriminatif, dari aktivis difabel, guru di pelosok, hingga relawan yang melindungi lingkungan.

Keadilan tidak lahir dari kekuasaan, tapi dari empati dan keberanian moral. Rawls menyebutnya justice as fairness: keadilan sebagai keberanian untuk berpihak pada yang lemah. Dan negara kita sudah mulai ke arah itu.
UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta RANHAM 2021–2025 adalah contoh nyata bahwa keadilan sosial kini diterjemahkan dalam kebijakan inklusif.

Namun, hukum saja tidak cukup. Dibutuhkan pahlawan-pahlawan sosial yang menolak eksklusivitas, yang membangun jembatan antarsesama. Inklusi sosial adalah bentuk kepahlawanan yang paling relevan hari ini, perjuangan tanpa senjata tapi berdampak pada martabat manusia.

Seorang pahlawan hari ini tidak perlu terkenal. Ia bisa siapa saja: anak muda yang mengajar gratis, programmer yang membuat aplikasi aksesibel untuk difabel, atau pemimpin yang memberi ruang bagi minoritas bersuara. Kepahlawanan tidak lagi tentang menjadi “yang terdepan”, tapi menjadi yang membuka jalan bagi yang tertinggal.

Karena pada akhirnya, seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.” Dan di abad ke-21 ini, pahlawan itu adalah mereka yang membuat orang lain merasa tidak sendirian di dalam sistem. (*)

Kepahlawanan Gen Z dan Milenial: Dari Medan Perang ke Medan Perubahan
Oleh: Nahrul Hayat (Dosen Komunikasi Politik IAIN Parepare)