Skip ke Konten

Membongkar Narasi Orientalis Barat, Guru Besar IAIN Parepare Tawarkan Tafsir Bugis sebagai Gerakan Dekolonisasi Islam

30 Oktober 2025 oleh
Membongkar Narasi Orientalis Barat, Guru Besar IAIN Parepare Tawarkan Tafsir Bugis sebagai Gerakan Dekolonisasi Islam
Humas IAIN Parepare
Humas IAIN Parepare — Guru Besar IAIN Parepare, Prof. Dr. Muzdalifah Muhammadun, tampil memukau di panggung Annual International Conference on Islamic Studies Plus (AICIS+) 2025 yang digelar di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat, pada Kamis, 30 Oktober 2025.

Dalam forum akademik bergengsi yang dihadiri ratusan akademisi dari berbagai negara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Parepare tersebut mempresentasikan riset bertajuk “Decolonizing Western Orientalist Narratives in Qur'anic Interpretation: A Case of Bugis Cultural Response.”

Lewat risetnya, Muzdalifah mengajak dunia akademik Islam untuk meninjau ulang dominasi narasi Barat yang selama ini menempatkan tradisi tafsir Timur Tengah sebagai pusat yang sahih, sementara tradisi Islam non-Arab—termasuk di Nusantara—dianggap pinggiran dan kurang otentik.

Foto : Prof. Dr. Muzdalifah Muhammadun (tengah  baju kuning)


Menegaskan Tradisi Tafsir Bugis

Dalam paparannya, Muzdalifah mengungkapkan bahwa tradisi penafsiran Bugis di Sulawesi Selatan justru menawarkan counter-narrative yang kuat terhadap pandangan orientalis. Ia meminjam perspektif pascakolonial Edward Said dan Talal Asad untuk menunjukkan bahwa tafsir Bugis bukan penyimpangan, melainkan bagian sah dari tradisi intelektual Islam yang dinamis.

“Melalui kearifan lokal seperti pangngadereng, lontara, dan nilai-nilai luhur yang dijaga oleh para Gurutta, masyarakat Bugis telah menenun makna Al-Qur’an ke dalam budaya mereka secara utuh,” jelasnya.

Ia mencontohkan bagaimana konsep kepemimpinan dalam Al-Qur’an dipahami melalui nilai lempu’ (kejujuran), macca’ (kecerdasan), dan warani’ (keberanian), sementara konsep ummah diperkaya oleh nilai siri’ na pesse (kehormatan dan solidaritas).

Mendekolonisasi Kajian Islam

Menurut Muzdalifah, upaya meneguhkan tradisi tafsir Bugis merupakan bagian dari gerakan dekolonisasi tafsir Al-Qur’an. Ia menilai, sudah saatnya dunia akademik Islam mengakui validitas epistemologi lokal non-Arab yang memiliki keilmuan dan kedalaman tersendiri.

“Islam bukan monolit yang hanya bisa dibaca dari satu pusat. Ia adalah samudra luas yang keindahannya tampak dari setiap pantai budaya di dunia,” ujar Muzdalifah, mengutip kesimpulan risetnya yang disambut tepuk tangan peserta konferensi.

Penelitian ini, lanjutnya, membuktikan bahwa Islam di wilayah pinggiran bukanlah tradisi inferior, melainkan tradisi yang hidup, aktif, dan berdaulat secara intelektual. Ia juga menyerukan perlunya keadilan epistemik dalam kajian Islam global—yakni pengakuan bahwa setiap peradaban memiliki hak untuk menafsirkan wahyu sesuai konteks budaya dan nilai lokalnya.

Pentingnya Digitalisasi Naskah Lontara

Dalam bagian akhir presentasinya, Muzdalifah menyoroti keterbatasan akses terhadap sumber primer naskah-naskah Lontara tafsir. Ia mendorong riset lanjutan untuk mendigitalkan manuskrip tersebut dan melakukan kajian filologis agar warisan tafsir Bugis tetap hidup dan relevan di masa depan.

“Merayakan keragaman tafsir lokal berarti menghidupkan semangat rahmatan lil ‘alamin,” tutupnya dengan nada reflektif. (*)



Penulis : Alfiansyah Anwar

Editor : Suherman Syach

di dalam Pengumuman
Dari Pendidikan ke Perlindungan: Literasi Hukum Berbasis Ekofeminisme dan Maqāṣid al-Sharī‘ah Jadi Kunci Pencegahan Pernikahan Dini