Skip ke Konten

Kolaborasi UIN Alauddin, IAIN Parepare, dan MUI Sulsel Gagas Fikih Bencana Inklusif Gender untuk Ketahanan Ekonomi Perempuan Pesisir di AICIS+ 2025

31 Oktober 2025 oleh
Kolaborasi UIN Alauddin, IAIN Parepare, dan MUI Sulsel Gagas Fikih Bencana Inklusif Gender untuk Ketahanan Ekonomi Perempuan Pesisir di AICIS+ 2025
Humas IAIN Parepare
Humas IAIN Parepare – Di tengah meningkatnya ancaman abrasi, banjir rob, dan reklamasi pantai yang mengancam wilayah pesisir Sulawesi Selatan, empat akademisi lintas lembaga menggagas konsep baru yang memadukan fikih Islam, budaya lokal, dan keadilan gender. Riset kolaboratif antara UIN Alauddin Makassar, IAIN Parepare, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan ini dipresentasikan pada ajang Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS+) 2025 di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat, Rabu–Jumat, 29–31 Oktober 2025.

Tim peneliti terdiri atas Abdul Syatar, Rauf Amin, Chaerul Mundzir, dan Muhammad Majdy Amiruddin. Mereka mengangkat penelitian bertajuk Fikih Bencana Inklusif Gender: Ketahanan Ekonomi Perempuan Pesisir Melalui Tradisi Sunrang.

Penelitian ini menemukan bahwa sunrang—tradisi pemberian adat Bugis–Makassar dari suami kepada istri—memiliki fungsi vital dalam menopang kemandirian ekonomi perempuan di daerah pesisir seperti Selayar dan Bantaeng. Sunrang, yang lazim berupa emas, lahan rumput laut, atau tanah pesisir, bukan hanya simbol pernikahan, tetapi juga bentuk jaminan ekonomi dan kehormatan (siri’) bagi perempuan.


Namun, bencana alam dan perubahan lingkungan menyebabkan banyak perempuan kehilangan aset sunrang mereka. “Kami menemukan fakta di lapangan bahwa hilangnya sunrang tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga mengguncang harga diri dan stabilitas sosial perempuan pesisir,” ujar Abdul Syatar, peneliti dari UIN Alauddin Makassar. Ia menegaskan bahwa sunrang adalah bagian integral dari identitas perempuan Bugis, bukan sekadar harta benda.

Sementara itu, peneliti lainnya Rauf Amin  menambahkan, hilangnya aset akibat abrasi dan banjir rob sering kali tidak diakui secara hukum karena banyak lahan pesisir tidak bersertifikat. “Di sinilah kami melihat celah pentingnya fikih hadir sebagai pelindung, bukan hanya pengatur,” katanya.

Bersama MUI Sulawesi Selatan, tim peneliti ini mengusulkan Fikih Bencana Inklusif Gender, sebuah pendekatan yang memperluas kerangka maqāṣid al-syarī‘ah agar tidak hanya melindungi nyawa dan harta, tetapi juga memulihkan martabat dan keberlanjutan ekonomi perempuan. Pendekatan ini menggunakan prinsip maslahah (kemaslahatan) dan istihsān (keadilan kontekstual) untuk menegaskan bahwa pemulihan ekonomi pascabencana merupakan tanggung jawab moral keagamaan.

Dari pihak MUI Sulawesi Selatan, muncul pandangan agar ada panduan fikih yang lebih sensitif terhadap konteks lokal. “Islam memiliki prinsip adaptif yang memungkinkan lahirnya fatwa atau seruan moral (taushiyah) untuk mengganti sunrang yang hilang akibat bencana, baik secara material maupun simbolik. Ini bagian dari perlindungan kehormatan dan kesejahteraan perempuan, sejalan dengan maqasid syariah,” kata salah satu anggota Komisi Fatwa MUI Sulsel.

Menurut Chaerul Mundzir, pemulihan ekonomi perempuan tidak bisa hanya mengandalkan bantuan negara. “Nilai-nilai budaya seperti sunrang perlu dimaknai kembali sebagai aset sosial dan spiritual. Pemulihan sunrang berarti juga rekonstruksi moral ekonomi di tingkat akar rumput,” jelasnya.

Bagi tim peneliti, gagasan fikih ini bukan hanya berbicara soal halal dan haram, tetapi juga tentang keadilan sosial, keberlanjutan ekonomi, dan integrasi budaya dalam syariah. “Melindungi sunrang berarti melindungi martabat dan masa depan ekonomi perempuan. Ketika fikih mampu hadir dalam konteks bencana, maka ia tidak hanya mengatur, tetapi juga menyembuhkan,” tutur Muhammad Majdy Amiruddin dari IAIN Parepare dalam sesi refleksi penelitian.

Kolaborasi tiga lembaga ini diharapkan menjadi inspirasi bagi perumusan kebijakan perlindungan aset perempuan dalam konteks kebencanaan, sekaligus memperkaya khazanah fikih sosial Indonesia yang lebih responsif terhadap realitas lokal dan berkeadilan gender. (*)



Penulis : Alfiansyah Anwar & Tasrif

Editor : Suherman Syach

di dalam Pengumuman
Dekolonisasi Pikiran Islam, Gagasan Cemerlang Muhiddin Bakry di AICIS+ 2025