Skip ke Konten

Dekolonisasi Pikiran Islam, Gagasan Cemerlang Muhiddin Bakry di AICIS+ 2025

31 Oktober 2025 oleh
Dekolonisasi Pikiran Islam, Gagasan Cemerlang Muhiddin Bakry di AICIS+ 2025
Humas IAIN Parepare
Humas IAIN Parepare – Di tengah gemuruh wacana global tentang keadilan dan krisis peradaban, nama Dr. Muhiddin Bakry, Lc., M.Fil.I mencuri perhatian audiens Annual International Conference on Islamic Studies Plus (AICIS+ 2025) yang digelar di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat, Kamis, (30/10/2025.

Dosen IAIN Parepare yang juga Kepala Pusat Moderasi LP2M IAIN Parepare itu tampil memukau saat mempresentasikan artikelnya berjudul “Dekolonisasi Pemikiran Politik Islam: Menuju Keadilan Sosial dan Ekonomi di Era Krisis Global.”

Dalam paparannya, Muhiddin menyoroti bagaimana dunia Islam hingga kini masih terperangkap dalam warisan kolonialisme — baik dalam sistem politik, ekonomi, maupun epistemologi. “Liberalisme, sekularisme, dan kapitalisme telah membentuk cara berpikir kita tanpa disadari,” ujarnya di hadapan para akademisi internasional.

Ia menilai krisis global — dari ekonomi hingga lingkungan — memperlihatkan kegagalan model pembangunan sekular-liberal yang tercerabut dari nilai moral dan keadilan sosial. Karena itu, menurut Muhiddin, dekolonisasi pemikiran politik Islam menjadi jalan untuk membangun sistem pengetahuan dan tata kelola baru yang berakar pada nilai-nilai Islam.


Dalam kerangka pemikirannya, Muhiddin mengusung tiga fondasi utama: maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan syariat), siyāsah shar‘iyyah (politik berbasis syariat), dan Islamization of Knowledge (IOK). Tiga gagasan itu, katanya, bukan nostalgia masa lalu, melainkan tawaran etis untuk membangun politik dan ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan kontekstual dengan tantangan global.

Melalui pendekatan Critical Discourse Analysis (CDA), Muhiddin membedah wacana kolonial dalam pengetahuan modern dan mengontraskannya dengan prinsip keadilan Islam. Ia menyebut dekolonisasi sebagai proses rekonstruksi epistemik, bukan sekadar pembebasan politik. “Ini tentang kedaulatan berpikir Islam — epistemic sovereignty,” tegasnya.



Temuannya menegaskan bahwa Islam memiliki paradigma politik yang menempatkan keadilan (‘adl) dan kebaikan sosial (ihsan) sebagai inti kebijakan publik. Dengan integrasi antara wahyu dan akal, politik Islam dapat menghadirkan tata kelola yang etis, kolektif, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.

Gagasannya memantik diskusi hangat di forum bergengsi itu. Beberapa peserta menyebut pandangan Muhiddin sebagai upaya segar dalam “mengembalikan ruh peradaban Islam” di tengah hegemoni pemikiran Barat yang kian dominan.

Bagi Muhiddin, dekolonisasi bukan sekadar wacana akademik, tetapi langkah spiritual dan intelektual untuk memulihkan martabat berpikir umat Islam. “Dekolonisasi bukan hanya membebaskan fisik, tetapi memulihkan martabat berpikir yang berkeadilan,” tutupnya penuh refleksi. (*)



Penulis : Alfiansyah Anwar & Tasrif

Editor : Suherman Syach

di dalam Pengumuman
Membongkar Narasi Orientalis Barat, Guru Besar IAIN Parepare Tawarkan Tafsir Bugis sebagai Gerakan Dekolonisasi Islam