Opini - Kita sering menyaksikan paradoks dalam ruang-ruang kelas: ketika guru membuka kesempatan untuk bertanya, justru yang terdengar hanyalah keheningan. Diam menjadi bahasa yang dominan, tapi apakah diam itu berarti paham? Dalam banyak kasus, diam bukanlah tanda penguasaan materi, melainkan refleksi dari rasa takut: takut bertanya, takut salah, takut ditertawakan, atau takut terlihat bodoh. Ini bukan masalah sederhana, melainkan gejala dari ruang belajar yang secara struktural belum sepenuhnya aman untuk berpikir secara terbuka.
Penelitian Hafifah et al. (2025) menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak aktif bertanya karena rendahnya rasa percaya diri dan sikap pesimis dalam mengemukakan pendapat. Studi lain oleh Penerapan dan Fifo (2023) bahkan menemukan bahwa dari 40 siswa dalam satu kelas, hanya 4% yang aktif bertanya. Sisanya, 96% memilih diam. Ini bukan hanya angka, melainkan alarm yang membunyikan krisis dalam kemampuan berpikir kritis di ruang kelas. Ketika tidak ada yang bertanya, kelas mungkin terdengar ramai; diskusi, penjelasan, tanya jawab dari guru, tetapi sebenarnya dipenuhi kebisingan yang menutupi kekosongan nalar.
Padahal, bertanya adalah keberanian paling jujur dalam proses belajar. Ia menjadi penanda bahwa seseorang bersedia mengakui celah dalam pemahamannya dan ingin menjelajahi jawaban. Pendidikan bukan hanya kehadiran fisik, melainkan juga kehadiran pikiran. Bertanya bukan sekadar alat, tapi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam, yang bisa melatih kemampuan analitis, kreativitas, dan keberanian intelektual.
Esai ini lahir dari kegelisahan akan minimnya budaya bertanya di ruang kelas. Penulis ingin mengulas pentingnya keterampilan bertanya, manfaatnya dalam pembelajaran, serta menyajikan alternatif solusi agar ruang kelas menjadi tempat yang ramah terhadap keberanian intelektual. Sebab, seperti pepatah yang sudah akrab di telinga kita: malu bertanya, sesat di jalan.
Ruang Kelas yang Membungkam
Bertanya adalah inti dari proses pendidikan. Ia bukan sekadar ekspresi keingintahuan, tetapi juga fungsi penting bahasa: menyampaikan pendapat, mempertegas gagasan, dan membangun dialog. Seperti dikatakan James Thurber, “It is better to ask some questions than to know all the answers.” Artinya, keberanian bertanya seringkali lebih penting daripada kepuasan semu karena merasa tahu.
Royani & Muslim (2014) menegaskan bahwa keterampilan bertanya adalah elemen vital dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Tanpa itu, proses belajar hanya akan bersifat satu arah dan dangkal. Sayangnya, data menunjukkan masih banyak siswa yang enggan bertanya. Dalam penelitian Suryanti et al. (2019), hanya 42,86% mahasiswa yang aktif bertanya dalam tiga pertemuan. Selebihnya, diam. Apakah karena mereka sudah paham? Atau justru tidak tahu harus bertanya apa? Mungkin juga berpura-pura paham demi menjaga gengsi di hadapan teman.
Ketika siswa tidak dilatih untuk bertanya, mereka tidak hanya kehilangan kesempatan untuk belajar lebih dalam, tapi juga kehilangan kepekaan untuk berpikir kritis. Padahal, bertanya bisa melatih logika, membuka ruang diskusi, memicu refleksi, dan memperkuat kepercayaan diri. Dari sebuah pertanyaan sederhana, bisa lahir dialog panjang yang menyuburkan cara berpikir.
Menghidupkan Dialog di Kelas
Bagaimana agar siswa tidak hanya hadir secara fisik, tapi juga aktif secara intelektual? Salah satu pendekatan yang relevan adalah pendidikan dialogis. Gagasan ini diperkenalkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, dan kembali dikaji oleh Anies Baswedan dalam berbagai forum pendidikan. Dalam pendidikan dialogis, guru bukan satu-satunya pusat pengetahuan, melainkan fasilitator dialog. Guru dan murid tumbuh bersama, saling bertanya, dan saling belajar.
Pendidikan dialogis menciptakan ruang yang aman untuk bertanya dan mengemukakan pendapat. Dalam suasana ini, tidak ada pertanyaan yang dianggap bodoh, dan tidak ada murid yang harus menahan diri karena takut salah. Proses ini menumbuhkan kesadaran kritis, menghapus sekat hierarki dalam berpikir, serta menciptakan ruang kelas yang tidak lagi sunyi dalam nalar.
Membangun budaya bertanya tentu tidak bisa instan. Butuh keteladanan, penguatan sistem, dan pengondisian suasana. Guru perlu menciptakan ruang apresiasi terhadap keberanian bertanya, bukan sekadar memberi nilai pada jawaban yang benar. Metode pengajaran pun harus membuka ruang partisipasi, bukan hanya ceramah satu arah.
Diam di ruang kelas bukanlah tanda paham. Ia bisa jadi simbol ketakutan, kekakuan sistem, atau bahkan kebosanan. Keterampilan bertanya bukan sekadar bagian dari kurikulum, tetapi refleksi dari keberanian intelektual dan kesadaran berpikir. Tanpa pertanyaan, ruang kelas hanya akan menjadi ruang transfer pengetahuan yang kering dan tak menggugah nalar.
Pendidikan dialogis menjadi solusi yang menjanjikan untuk menghidupkan kembali semangat bertanya. Ketika siswa merasa aman, dihargai, dan diberi ruang untuk berpikir, maka bertanya tidak lagi terasa menakutkan, tapi menjadi kebutuhan.
Kini saatnya kita mengubah kebiasaan—dari membiarkan kebisingan kosong memenuhi ruang kelas, menuju dialog bermakna yang menghidupkan pikiran. Sebab, dari sebuah pertanyaan kecil, bisa lahir perubahan besar.
Referensi
· Hafifah, A., Fitria, L., & Sriwahyuningsih, V. (2025). Analisis Keterampilan Bertanya Siswa Kelas X dalam Proses Belajar di SMA Swasta Semen Padang, 3(3), 156–173.
· Penerapan, D., & Fifo, M. (2023). 1, 2 (1), 17–23.
· Royani, M., & Muslim, B. (2014). Keterampilan Bertanya Siswa SMP Melalui Strategi Pembelajaran Aktif Tipe Team Quiz pada Materi Segi Empat. EDU-MAT: Jurnal Pendidikan Matematika, 2(1), 22–28. https://doi.org/10.20527/edumat.v2i1.586
· Suryanti, S., Sudarmi, S., & Fadheela, S. (2019). Profil Kesulitan Bertanya Pada Proses Pembelajaran Perkembangan Hewan Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Islam Riau Pekanbaru. Perspektif Pendidikan dan Keguruan, 10(2), 48–57. https://doi.org/10.25299/perspektif.2019.vol10(2).3991
Biodata
Arfan adalah mahasiswa semester 2 pada Program Studi Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah. Ia aktif menulis dan bergiat dalam dunia literasi, serta merupakan Kader Forum Lingkar Pena (FLP) tahun 2025. Ketertarikannya terhadap isu pendidikan dan budaya berpikir kritis mendorongnya untuk menulis esai ini sebagai refleksi atas dinamika ruang kelas yang ia alami dan amati.