Skip ke Konten

MPL Mobile Legends: Peluang Ekonomi Kreatif dalam Perspektif Akuntansi Syariah

Penulis: Muhammad Ibnu Fatih S. (Mahasiswa Akuntansi Syariah – Peserta Program Semester Antara MK Bahasa Indonesia)

Opini - Dulu, bermain gim dianggap sekadar pelarian, bahkan buang-buang waktu. Kini, Mobile Legends Professional League (MPL) hadir sebagai pembalik stigma itu. Ia menjelma menjadi poros baru dalam perekonomian digital Indonesia, memutar miliaran rupiah dan membuka ribuan lapangan kerja. Dunia esports kini menjadi ruang tumbuhnya karier yang tak lagi bisa diremehkan, dari pro player, caster, analis strategi, hingga pelaku UMKM yang menjual merchandise tematik, makanan khas turnamen, atau menyediakan jasa event organizer


Data dari Esports Charts menyebutkan bahwa MPL Indonesia Season 15 mencetak lebih dari empat juta penonton puncak dan total durasi tayang mencapai 113 juta jam. Ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti konkret bahwa esports telah menjadi fenomena sosial sekaligus ekonomi yang serius. Tapi, ketika industri ini melaju kencang, kita patut bertanya: ke mana arahnya akan dibawa? Apakah ia akan menjadi sekadar mesin penghasil uang, atau bisa diarahkan menjadi bagian dari ekonomi yang tidak hanya produktif, tetapi juga beretika dan berkeadilan?


Inilah ruang di mana akuntansi syariah perlu hadir dan memainkan peran penting. Esports seperti MPL berada dalam wilayah muamalah, yakni aktivitas sosial-ekonomi yang diperbolehkan dalam Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Bermain gim dalam ranah profesional, disertai kontrak resmi dan dukungan sponsor yang jelas, diperbolehkan selama tidak mengandung unsur perjudian, tidak merugikan pihak lain, dan tidak menyebabkan kelalaian dalam menjalankan kewajiban agama dan sosial. Bahkan, jika seorang atlet esports telah mencapai batas penghasilan tertentu (nisab), maka ia wajib mengeluarkan zakat profesi sebesar 2,5 persen dari pendapatan bersihnya. Ini adalah wujud tanggung jawab sosial yang diajarkan Islam, tetapi belum banyak disentuh oleh pelaku industri esports saat ini.


Lebih jauh, akuntansi syariah dapat menjadi fondasi penting dalam mengelola aspek keuangan industri ini. MPL bukan lagi sekadar komunitas penggemar game, melainkan ekosistem bisnis yang kompleks. Tim-tim profesional kini memiliki struktur manajerial, kontrak kerja, sistem pembagian hasil, serta aliran dana sponsor yang signifikan. Dalam konteks ini, prinsip akuntansi syariah seperti kejujuran, transparansi, dan keadilan sangat relevan. Ketiga nilai itu bukan hanya prinsip keuangan Islami, tapi juga kebutuhan praktis dalam industri yang tumbuh cepat dan kerap kali luput dari pengawasan yang memadai.


Tanpa pendekatan berbasis nilai dan sistem yang kuat, industri ini bisa saja maju secara ekonomi tetapi gagal secara moral. Kita telah melihat potensi adanya eksploitasi pemain muda, pembagian hasil yang timpang, transaksi keuangan yang tidak transparan, hingga praktik ribawi terselubung dalam kerja sama sponsor atau pengelolaan dana tim. Jika dibiarkan, esports bisa menjadi cermin dari kemajuan tanpa arah: gemerlap dari luar, tetapi rapuh dari dalam. Islam tidak menolak pertumbuhan ekonomi, tetapi menegaskan bahwa pertumbuhan itu harus disertai keberkahan dan tanggung jawab.


MPL Mobile Legends adalah representasi zaman yang berubah. Di tengah derasnya arus digitalisasi, peluang justru muncul dari ruang yang dulu dianggap tidak penting. Namun di setiap peluang besar, selalu ada tanggung jawab yang menyertainya. Esports bisa menjadi pintu baru bagi ekonomi syariah untuk berkontribusi nyata dalam dunia digital. Selama nilai-nilai Islam dijadikan fondasi, MPL bukan hanya akan menghibur dan menginspirasi, tapi juga memberi manfaat yang meluas dan bermakna.


Menjadikan MPL sebagai bagian dari ekonomi berkah bukanlah mimpi kosong. Ia menuntut kesadaran, keberanian, dan komitmen dari semua pihak—terutama generasi muda Muslim yang kini menjadi bagian dari ekosistem ini. Masa depan ekonomi kreatif digital tak boleh hanya diukur dengan jumlah viewer atau prize pool, tetapi dengan seberapa jauh ia bisa membawa nilai, keadilan, dan keberkahan ke tengah masyarakat.

di dalam Opini
Implementasi Kurikulum Cinta melalui Pendekatan Etnomarketing