Skip ke Konten

Ketika Nilai Tak Menilai Segalanya

oleh : Nadiatul Adawiah (Mahasiswa Program Studi PBA)

Opini - "Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, 'Tuhanku telah memuliakanku.' Namun apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, 'Tuhanku telah menghinakanku.'" (QS. Al-Fajr: 15–16).

Di lingkungan kampus, tidak ada momen yang lebih menegangkan dari pengumuman nilai. Bagi banyak mahasiswa, nilai bukan sekadar angka, ia menjadi tolok ukur diri, bahkan kadang menjadi identitas. Yang diuji bukan hanya kemampuan akademik, tapi juga cara menerima kenyataan, baik atau pahit.

Kita sering menganggap nilai tinggi sebagai bentuk kemuliaan, dan nilai rendah sebagai tanda kegagalan. Padahal QS. Al-Fajr: 15–16 justru membongkar cara pikir semacam itu. Ayat ini menyingkap kecenderungan manusia yang keliru menilai nikmat dan ujian dari tampilan luar. Saat diluaskan rezekinya, ia merasa dimuliakan; saat dibatasi, ia merasa dihinakan. Padahal, bisa jadi yang tampak sebagai anugerah justru ujian, dan yang tampak sebagai kekurangan justru bentuk kasih sayang.

Dalam tafsir para ulama, ayat ini adalah teguran terhadap manusia yang menyamakan status duniawi dengan kedudukan spiritual. Ia lupa bahwa Allah menilai bukan dari apa yang tampak, tapi dari apa yang tersembunyi di hati. Ini berlaku pula dalam dunia akademik.

Nilai tinggi belum tentu menunjukkan kedalaman pemahaman, dan nilai rendah belum tentu cermin kemalasan. Saya punya seorang teman yang nilainya jatuh di satu mata kuliah penting. Namun, dari situ ia belajar lebih tekun, mulai aktif bertanya, dan bahkan jadi pendamping belajar bagi teman lainnya. Kini, ia justru dikenal sebagai mahasiswa paling progresif di prodinya. Kadang, jatuh adalah cara Allah menaikkan seseorang lebih tinggi, dengan cara yang tak selalu instan.

Tidak semua yang baik adalah hadiah, dan tidak semua yang sulit adalah hukuman. Nilai memang penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita meresponsnya: apakah tetap bersyukur, belajar dari kecewa, dan menjaga adab dalam kecewa itu.

Bagi Teman-Teman yang kecewa karena nilai tak sesuai harapan, semoga ini menjadi pengingat: nilai bukan penentu harga diri. Allah tidak menilai dari hasil akhir semata, tetapi dari niat, kejujuran, dan keteguhan hati dalam menjalani proses. Tak ada usaha yang sia-sia jika dijalani dengan ikhlas.

Kalaupun merasa nilai yang diperoleh keliru atau tidak adil, menyampaikan keberatan adalah hak. Namun, adab dalam menyampaikannya adalah kewajiban. Klarifikasi bukan konfrontasi. Gunakan bahasa yang baik, sampaikan dengan kepala dingin. Dosen pun manusia, bisa keliru, dan biasanya akan terbuka jika diajak bicara dengan sopan. Etika dalam protes adalah bagian dari kedewasaan belajar, karena adab adalah bagian dari ilmu itu sendiri.

Kampus memang menilai dengan angka, tapi hidup menilai dari cara kita berdiri setelah jatuh. Nilai hanyalah bagian dari perjalanan, bukan tujuan akhir. Ia bisa menjadi alat ukur, tapi tak cukup untuk menakar siapa kita sebenarnya.

Di tengah dunia yang cepat dan penuh perbandingan ini, semoga kita tak lupa: kemuliaan sejati bukan di transkrip, tapi dalam ketulusan hati. Semoga, kita tak hanya lulus dari ujian akademik, tapi juga dari ujian hati, dan mungkin lebih menentukan di mata-Nya.

Biodata Penulis

Nadiatul Adawiah adalah seorang mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Arab semester II di IAIN Parepare. Selain menjalani peran sebagai mahasiswi, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, salah satunya adalah Forum Lingkar Pena (FLP) Kota Parepare.

di dalam Opini
POLRI dan Amanat Negara Hukum
Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare