Skip ke Konten

Kebebasan Akademik sebagai Ruh Pendidikan Tinggi Indonesia

Oleh: Dr. Sumarni Sumai, S. Sos., M. Si 

(Pakar Sosiologi Komunikasi IAIN Parepare)


Humas IAIN Parepare --- Kampus bukan sekadar ruang belajar, melainkan arena pertukaran gagasan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam kerangka Tri Dharma Perguruan Tinggi, penelitian memegang peran vital sebagai pintu lahirnya pengetahuan baru. Namun, ketika kebebasan akademik mulai tergerus oleh intervensi politik praktis yang kerap dibungkus alasan “isu sensitif”, maka marwah perguruan tinggi sebagai pusat ilmu pengetahuan ikut dipertaruhkan. Pertanyaannya, masihkah kampus kita berdiri sebagai benteng terakhir kebebasan berpikir di tengah arus kepentingan?

Politik Praktis dalam Ruang Akademik

Sebagai bagian dari institusi pendidikan tinggi, kampus idealnya menjadi ruang yang steril dari intervensi kekuasaan maupun kepentingan politik. Namun, dalam praktik sehari-hari, realitas menunjukkan sebaliknya: ruang akademik kerap diwarnai campur tangan eksternal yang membatasi otonomi intelektual. Salah satu bentuknya adalah pelabelan terhadap penelitian atau isu tertentu sebagai “isu sensitif”. Labelisasi ini sering dijadikan alasan untuk mempersempit ruang gerak peneliti, baik dengan membatasi topik yang dapat dikaji maupun dengan menutup akses terhadap data dan narasumber. Situasi tersebut pada akhirnya mengikis makna kebebasan akademik yang seharusnya dijunjung tinggi di perguruan tinggi.

Dalam perspektif sosiologi komunikasi, fenomena ini dapat dibaca sebagai manifestasi dari relasi kuasa dalam wacana akademik. Kuasa tidak hanya bekerja melalui kebijakan formal, tetapi juga melalui mekanisme simbolik: menentukan siapa yang berhak bersuara, topik apa yang dianggap sah untuk dikaji, serta siapa yang harus dibungkam. Hal ini sejalan dengan pemikiran Michel Foucault tentang relasi pengetahuan dan kuasa, di mana “kebenaran” dalam ruang sosial sering kali dihasilkan oleh struktur dominan. Kita bisa melihat contohnya di Indonesia ketika penelitian tentang isu-isu sosial seperti konflik agraria, korupsi, uang palsu atau bahkan kekerasan seksual di kampus tertentu dianggap “rawan” lalu dibatasi aksesnya. Akibatnya, komunikasi akademik tidak lagi berlangsung secara egaliter, melainkan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang membatasi.

Padahal, regulasi telah menegaskan pentingnya kebebasan akademik. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8, menyatakan bahwa kebebasan akademik adalah kebebasan sivitas akademika dalam perguruan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi secara bertanggung jawab. Praktiknya, ada pula perguruan tinggi yang berusaha menjaga marwah kebebasan akademik dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi penelitian kritis. Bahkan, hasil riset yang dianggap sensitif pun diposisikan sebagai bahan refleksi dan diskusi ilmiah bersama mahasiswa serta masyarakat. Praktik semacam ini menunjukkan bahwa kampus tetap bisa menjadi ruang publik yang sehat, di mana kebebasan berpikir dilindungi tanpa harus takut pada labelisasi atau intervensi. Dengan begitu, komunikasi akademik dapat berjalan secara egaliter, dan pengetahuan yang lahir benar-benar mencerminkan dialektika ilmiah yang murni.

 

Distorsi Fungsi Komunikasi Ilmiah

Kebebasan akademik sejatinya merupakan jantung dari sistem komunikasi ilmiah. Ketika penelitian dibatasi oleh kepentingan politik, maka fungsi komunikasi kampus sebagai arena pertukaran ide menjadi terdistorsi. Pengetahuan tidak lagi lahir secara murni melalui dialektika ilmiah, melainkan disaring oleh kepentingan eksternal. Akibatnya, perguruan tinggi berisiko kehilangan daya kritisnya dan hanya menjadi perpanjangan tangan narasi tertentu.

Dalam konteks ini, gagasan Jürgen Habermas tentang ruang publik (public sphere) sangat relevan. Habermas menekankan pentingnya komunikasi yang berlangsung secara rasional, bebas dari dominasi, dan terbuka bagi semua pihak. Kampus sejatinya adalah wujud nyata ruang publik itu, tempat wacana dapat dipertukarkan tanpa hambatan kekuasaan. Jika ruang tersebut dicemari politik praktis, maka komunikasi akademik kehilangan sifat emansipatorisnya, dan perguruan tinggi kehilangan jati dirinya.¹

Menjaga Ruh Pendidikan Tinggi

Oleh karena itu, penting untuk menegaskan kembali bahwa kebebasan akademik bukan hanya hak individu dosen atau peneliti, melainkan sebuah sistem yang menopang kualitas ilmu pengetahuan bangsa. Kampus harus mampu menjaga independensi, menjamin keberagaman topik penelitian, serta membuka ruang dialog kritis tanpa rasa takut. Dalam kerangka sosiologi komunikasi, hal ini berarti memastikan bahwa arus komunikasi akademik tetap berjalan secara horizontal, egaliter, dan bebas dari dominasi kepentingan politik praktis.

Semoga di kampus kita, ruang akademik tetap terjaga dari arus politik praktis, demi terselenggaranya misi pendidikan Indonesia yang hakiki: melahirkan ilmu pengetahuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menjaga marwah perguruan tinggi sebagai pusat kebebasan akademik. Hanya dengan itu, ruh pendidikan tinggi akan tetap hidup, dan kampus benar-benar menjadi mercusuar peradaban ilmu.


Referensi

  1. Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: MIT Press, 1989.

di dalam Opini
PBB NAIK, AROGANSI BUPATI DAN AMARAH PATI
Oleh: Rusdianto Sudirman, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare