Opini - Jika kita membuka situs Mahkamah Agung, kita akan melihat angka yang mencengangkan, jutaan perkara pidana dan perdata membanjiri pengadilan di seluruh Indonesia. Di Parepare dan sekitarnya, realita ini bukan sekadar statistik. Ia adalah cerita panjang antrean persidangan, biaya berlipat, dan energi terkuras bagi para pencari keadilan.
Akar masalahnya kompleks. Di satu sisi, budaya masyarakat kita yang cenderung konfrontatif dalam menyelesaikan sengketa mendorong mereka langsung ke gerbang pengadilan.
Di sisi lain, ada persepsi publik yang suram terhadap aparat penegak hukum. Citra korup, berbelit, dan lamban meski tidak semua demikian telah menggerus kepercayaan. Masuk ke pengadilan bagi banyak orang bagai memasuki labirin yang melelahkan, mahal, dan tidak jarang berakhir dengan rasa kecewa.
Di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan bertanya, apakah pengadilan adalah satu-satunya jalan?
Pengalaman di lapangan, termasuk yang kerap kami temui di LBH GP Ansor, menunjukkan bahwa banyak sengketa baik perdata ringan seperti utang-piutang, waris, sengketa lahan, hingga perkara pidana tertentu yang dapat didamaikan sebenarnya lebih efektif diselesaikan di luar ruang sidang. Jalan yang sering diabaikan namun sangat powerful adalah mediasi.
Mediasi bukan sekadar berdamai. Ia adalah seni menyelesaikan konflik dengan pendekatan win-win solution, di mana para pihak didampingi oleh pihak ketiga yang netral yaitu seorang mediator. Sayangnya, di tengah gencarnya sosialiasi mediasi, kita menghadapi masalah mendasar minimnya jumlah mediator non-hakim yang benar-benar profesional, tersertifikasi, dan memiliki kredibilitas yang diakui.
Hakim sebagai mediator, meski diamanatkan oleh undang-undang, seringkali terbebani oleh target penyelesaian perkara yang menumpuk. Waktu dan tenaga mereka terbatas. Akibatnya, proses mediasi kerap dilakukan secara terburu-buru, tidak menyentuh akar masalah, dan akhirnya gagal. Para pihak pun kembali berhadap-hadapan di persidangan.
Oleh karena itu, kami melihat kebutuhan yang sangat mendesak bagi IAIN Parepare almamater yang melahirkan banyak intelektual dan praktisi hukum untuk mengambil peran strategis. Sudah waktunya IAIN Parepare mempelopori pembentukan Lembaga Sertifikasi Mediator.
Mengapa IAIN Parepare?
Pertama, IAIN Parepare memiliki basis keilmuan yang kuat, tidak hanya dalam hukum positif tetapi juga dalam Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyah) dan prinsip-prinsip shulh (perdamaian) dalam Islam. Nilai-nilai Islam yang menekankan perdamaian, rekonsiliasi, dan keadilan restoratif adalah fondasi ideal bagi seorang mediator.
Kedua, sebagai perguruan tinggi keagamaan, IAIN Parepare memiliki kredibilitas moral dan jaringan yang luas hingga ke tingkat akar rumput, termasuk melalui organisasi seperti GP Ansor. Keterlibatan lembaga keagamaan dalam melahirkan mediator akan menambah tingkat kepercayaan masyarakat.
Lembaga Sertifikasi Mediator ini nantinya tidak hanya akan mencetak mediator yang paham teori, tetapi juga melalui pelatihan intensif dan uji kompetensi yang ketat, akan menghasilkan mediator-mediator profesional yang memiliki sertifikat resmi. Mereka bisa berasal dari kalangan dosen, praktisi hukum, tokoh agama, hingga pemuda masyarakat yang memiliki bakat sebagai peacemaker.
Dengan adanya mediator tersertifikasi, masyarakat memiliki pilihan. Alih-alih langsung mengajukan gugatan, mereka bisa mendatangi mediator yang kredibel untuk menyelesaikan sengketa. Hasil kesepakatan yang dibuat di bawah mediasi yang sah dapat dikuatkan dengan akta perdamaian oleh pengadilan. Ini akan secara signifikan mengurangi beban perkara.
Bayangkan, satu perkara yang berhasil diselesaikan melalui mediasi berarti menghemat waktu hakim, mengurangi biaya para pihak, dan yang terpenting, memutus mata rantai permusuhan. Hubungan tetangga, keluarga, atau rekan bisnis bisa tetap terjaga. Inilah keadilan yang memanusiakan.
Kami, di LBH GP Ansor Parepare, siap menjadi mitra strategis. Kami melihat langsung betapa masyarakat merindukan cara penyelesaian sengketa yang cepat, adil, dan tidak menguras kantong. Lembaga Sertifikasi Mediator di IAIN Parepare bukan lagi wacana, melainkan sebuah keniscayaan.
Kepada pimpinan IAIN Parepare, mari kita jawab kegelisahan ini dengan tindakan nyata. Lahirkan para mediator profesional yang akan menjadi ujung tombak perdamaian di masyarakat. Dengan demikian, IAIN Parepare tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga menjadi pelopor solusi bagi bangsa dimulai dari kota kita tercinta, Parepare.
Penulis adalah Ketua LBH GP Ansor Kota Parepare, dan tulisan ini merupakan saran dan rekomendasi yang telah penulis sampaikan pada wawancara Pengguna Lulusan IAIN Parepare Dalam asessmen lapangan Akreditasi Perguruan Tinggi.