Skip ke Konten

Merdeka atau Mati: Warisan Semangat 10 November untuk Generasi Baru

Oleh : Rahmawati AR, Arsiparis Ahli Pertama IAIN Parepare
10 November 2025 oleh
Merdeka atau Mati: Warisan Semangat 10 November untuk Generasi Baru
Humas IAIN Parepare
"Merdeka atau Mati!”
Itu bukan sekadar slogan. Itu adalah pekik yang menggetarkan, sebuah sumpah yang lahir dari lautan api dan darah di Surabaya. 79 tahun lalu, pada 10 November 1945, pekik itu menjadi bahan bakar yang menyatukan ribuan pemuda, pelajar, dan rakyat biasa yang kita kenal sebagai arek-arek Suroboyo untuk melawan tentara Sekutu yang bersenjata lengkap.

Mereka dihadapkan pada ultimatum untuk menyerah, meletakkan senjata, dan mengibarkan bendera putih. Namun, pilihan yang mereka ambil dengan dorongan orasi heroik Bung Tomo adalah pilihan yang menentukan martabat sebuah bangsa yang baru seumur jagung: Merdeka atau Mati.

Kini, di era yang damai, di tengah deru teknologi dan gemerlap media sosial, pekik itu mungkin terdengar sayup. Generasi baru hidup dalam kemerdekaan yang telah diwariskan. Lantas, apakah warisan semangat 10 November itu masih relevan? Jawabannya adalah: sangat relevan. Namun, medannya telah berubah.

Jika para pahlawan 10 November bertempur melawan tentara dengan tank dan senapan, generasi baru dihadapkan pada "penjajah" dalam bentuk yang lebih abstrak, namun tak kalah berbahaya.

Presiden Soekarno pernah mengingatkan, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."

Musuh kita hari ini bisa jadi adalah sikap apatis kita sendiri. Musuh kita adalah korupsi yang menggerogoti sendi bangsa. Musuh kita adalah hoaks dan ujaran kebencian yang merobek tenun kebangsaan. Musuh kita adalah kemalasan untuk belajar dan ketidakinginan untuk bersaing secara global. Di sinilah semangat "Merdeka atau Mati" menemukan relevansi barunya.

Bagi generasi baru, "Merdeka" bukanlah lagi sekadar bebas dari penjajahan fisik. Maknanya telah berevolusi menjadi:


•Merdeka dari Kebodohan: Semangat 10 November adalah semangat pantang menyerah. Generasi baru harus memiliki semangat yang sama untuk "mati-matian" mengejar ilmu, menguasai teknologi, dan berinovasi. Merdeka berarti menjadi cerdas, kritis, dan tidak mudah dibodohi.

•Merdeka dari Perpecahan: Para pahlawan di Surabaya datang dari berbagai suku, agama, dan latar belakang. Mereka bersatu. "Merdeka" hari ini adalah merdeka dari politik identitas dan polarisasi. Kita berjuang "mati-matian" untuk menjaga Bhinneka Tunggal Ika.

•Merdeka dari Korupsi dan Ketidakjujuran: "Merdeka atau Mati" adalah soal harga diri. Pahlawan kita lebih baik mati berkalang tanah daripada menyerah dan kehilangan martabat. Generasi baru harus memiliki harga diri yang sama: lebih baik "mati" dalam kesederhanaan daripada hidup mewah dari hasil korupsi. Ini adalah perang "mati-matian" melawan godaan ketidakjujuran.

•Merdeka dari Ketergantungan: Ini adalah perjuangan untuk merdeka secara ekonomi dan karya. Semangatnya adalah menciptakan, bukan hanya mengonsumsi. Menjadi produsen, bukan sekadar pasar. Berani bersaing di panggung global dengan karya dan kreativitas.

Jika "Merdeka" adalah tujuannya, "Mati" adalah simbol dari totalitas perjuangan. Itu adalah penegasan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ditawar.
• "Mati" adalah matinya sikap apatis. Kita tidak lagi diam melihat ketidakadilan.
• "Mati" adalah matinya ego pribadi demi kepentingan bersama.
• "Mati" adalah matinya rasa takut untuk menyuarakan kebenaran dan membela yang lemah.

Generasi baru tidak diminta mengangkat senjata. Kita diminta untuk "mati-matian" dalam idealisme. Kita diminta untuk "mati-matian" bekerja jujur. Kita diminta untuk "mati-matian" belajar dan berkarya demi nama baik bangsa.
Hari Pahlawan bukan hanya tentang mengenang mereka yang telah gugur. Ini adalah tentang mengambil api semangat mereka semangat "Merdeka atau Mati" dan menjaganya tetap menyala dalam diri kita.

Medan perang kita hari ini adalah ruang digital, ruang kelas, ruang kerja, dan ruang publik. Musuh kita adalah diri kita sendiri yang malas, yang apatis, dan yang mudah terpecah belah.

Warisan 10 November adalah warisan keberanian untuk memilih. Memilih untuk berjuang demi prinsip, memilih untuk berkontribusi bagi negeri, dan memilih untuk menjaga martabat bangsa ini. Itulah cara generasi baru menghormati pekik "Merdeka atau Mati!" yang dulu dikumandangkan di Surabaya.

Perjuangan belum berakhir."Merdeka atau Mati!”
Itu bukan sekadar slogan. Itu adalah pekik yang menggetarkan, sebuah sumpah yang lahir dari lautan api dan darah di Surabaya. 79 tahun lalu, pada 10 November 1945, pekik itu menjadi bahan bakar yang menyatukan ribuan pemuda, pelajar, dan rakyat biasa yang kita kenal sebagai arek-arek Suroboyo untuk melawan tentara Sekutu yang bersenjata lengkap.

Mereka dihadapkan pada ultimatum untuk menyerah, meletakkan senjata, dan mengibarkan bendera putih. Namun, pilihan yang mereka ambil dengan dorongan orasi heroik Bung Tomo adalah pilihan yang menentukan martabat sebuah bangsa yang baru seumur jagung: Merdeka atau Mati.

Kini, di era yang damai, di tengah deru teknologi dan gemerlap media sosial, pekik itu mungkin terdengar sayup. Generasi baru hidup dalam kemerdekaan yang telah diwariskan. Lantas, apakah warisan semangat 10 November itu masih relevan? Jawabannya adalah: sangat relevan. Namun, medannya telah berubah.

Jika para pahlawan 10 November bertempur melawan tentara dengan tank dan senapan, generasi baru dihadapkan pada "penjajah" dalam bentuk yang lebih abstrak, namun tak kalah berbahaya.

Presiden Soekarno pernah mengingatkan, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."

Musuh kita hari ini bisa jadi adalah sikap apatis kita sendiri. Musuh kita adalah korupsi yang menggerogoti sendi bangsa. Musuh kita adalah hoaks dan ujaran kebencian yang merobek tenun kebangsaan. Musuh kita adalah kemalasan untuk belajar dan ketidakinginan untuk bersaing secara global. Di sinilah semangat "Merdeka atau Mati" menemukan relevansi barunya.

Bagi generasi baru, "Merdeka" bukanlah lagi sekadar bebas dari penjajahan fisik. Maknanya telah berevolusi menjadi:

Merdeka dari Kebodohan: Semangat 10 November adalah semangat pantang menyerah. Generasi baru harus memiliki semangat yang sama untuk "mati-matian" mengejar ilmu, menguasai teknologi, dan berinovasi. Merdeka berarti menjadi cerdas, kritis, dan tidak mudah dibodohi. 

Merdeka dari Perpecahan: Para pahlawan di Surabaya datang dari berbagai suku, agama, dan latar belakang. Mereka bersatu. "Merdeka" hari ini adalah merdeka dari politik identitas dan polarisasi. Kita berjuang "mati-matian" untuk menjaga Bhinneka Tunggal Ika. 

Merdeka dari Korupsi dan Ketidakjujuran: "Merdeka atau Mati" adalah soal harga diri. Pahlawan kita lebih baik mati berkalang tanah daripada menyerah dan kehilangan martabat. Generasi baru harus memiliki harga diri yang sama: lebih baik "mati" dalam kesederhanaan daripada hidup mewah dari hasil korupsi. Ini adalah perang "mati-matian" melawan godaan ketidakjujuran. 

Merdeka dari Ketergantungan: Ini adalah perjuangan untuk merdeka secara ekonomi dan karya. Semangatnya adalah menciptakan, bukan hanya mengonsumsi. Menjadi produsen, bukan sekadar pasar. Berani bersaing di panggung global dengan karya dan kreativitas.

Jika "Merdeka" adalah tujuannya, "Mati" adalah simbol dari totalitas perjuangan. Itu adalah penegasan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa ditawar.
• "Mati" adalah matinya sikap apatis. Kita tidak lagi diam melihat ketidakadilan.
• "Mati" adalah matinya ego pribadi demi kepentingan bersama.
• "Mati" adalah matinya rasa takut untuk menyuarakan kebenaran dan membela yang lemah.

Generasi baru tidak diminta mengangkat senjata. Kita diminta untuk "mati-matian" dalam idealisme. Kita diminta untuk "mati-matian" bekerja jujur. Kita diminta untuk "mati-matian" belajar dan berkarya demi nama baik bangsa.

Hari Pahlawan bukan hanya tentang mengenang mereka yang telah gugur. Ini adalah tentang mengambil api semangat mereka semangat "Merdeka atau Mati" dan menjaganya tetap menyala dalam diri kita.

Medan perang kita hari ini adalah ruang digital, ruang kelas, ruang kerja, dan ruang publik. Musuh kita adalah diri kita sendiri yang malas, yang apatis, dan yang mudah terpecah belah.

Warisan 10 November adalah warisan keberanian untuk memilih. Memilih untuk berjuang demi prinsip, memilih untuk berkontribusi bagi negeri, dan memilih untuk menjaga martabat bangsa ini. Itulah cara generasi baru menghormati pekik "Merdeka atau Mati!" yang dulu dikumandangkan di Surabaya.

Perjuangan belum berakhir. (*)

di dalam Opini
Pahlawan di Era Digital: Mengabdi Tanpa Pamrih, Melayani dengan Hati
Oleh : Mustikawati,  Penata Layanan Operasional IAIN Parepare