Humas IAIN Parepare— Suhartina, dosen IAIN Parepare dan Kepala Pusat Publikasi dan Penerbitan, menjadi salah satu dari 43 penerima fasilitasi bidang kebudayaan yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX. Melalui dukungan ini, ia menginisiasi kegiatan bertajuk Parepare Makkita: Literasi dan Seni yang digelar pada 26–27 Juli 2025 di Balai Seni IAIN Parepare.
Kegiatan ini merupakan bagian dari tridarma perguruan tinggi, khususnya bentuk pengabdian dosen kepada masyarakat. Suhartina memanfaatkan program fasilitasi ini untuk menghadirkan ruang kolaborasi literasi dan budaya yang mempertemukan penulis, guru, akademisi, siswa, mahasiswa, dan komunitas literasi. Sebanyak 35 peserta mengikuti kegiatan ini setelah karya cerita lokal mereka lolos proses kurasi.
Parepare Makkita menghadirkan empat narasumber utama: Mustadirham, S.Pd., M.Pd. (Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Parepare), Ilham Mustamin, S.Pd. (Pegiat Literasi), S. Gegge Mappangewa (Ketua Badan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena), dan Fitriani (Guru Bahasa Bugis dan Pegiat Literasi Budaya). Keempat pemateri ini berbagi pandangan mengenai pentingnya menulis sebagai sarana pelestarian kearifan lokal dan pemajuan kebudayaan.
Dalam sambutannya, Suhartina menyampaikan bahwa Parepare Makkita adalah upaya untuk menghadirkan literasi yang membumi dan bermakna. “Literasi bukan hanya aktivitas teknis membaca dan menulis, tapi juga kesadaran merawat identitas dan nilai-nilai lokal. Ini adalah bentuk pengabdian kami sebagai dosen untuk memberi kembali kepada masyarakat lewat jalan budaya,” ungkapnya.
Mustadirham memberikan apresiasi atas inisiatif ini. Ia menyebut Parepare Makkita sebagai wujud nyata dari sinergi antara akademisi, pemerintah, dan komunitas. “Kegiatan ini penting untuk memperkuat ekosistem literasi di Parepare, dan kami dari Dinas siap mendukung program serupa ke depan,” katanya.
Ilham Mustamin menambahkan bahwa ruang seperti Parepare Makkita sangat dibutuhkan di tengah tantangan literasi saat ini. “Menulis budaya adalah bentuk perlawanan terhadap hilangnya ingatan kolektif. Kita butuh ruang seperti ini untuk terus menjaga cerita-cerita kita tetap hidup,” ujarnya.
Fitriani, sebagai pemateri yang juga guru Bahasa Bugis, menekankan pentingnya penguatan literasi berbasis bahasa daerah. “Bahasa adalah pintu menuju budaya. Ketika anak-anak menulis dalam bingkai lokal, mereka tidak hanya belajar menulis, tapi juga merawat jati diri,” jelasnya.
Muhammad Hasim, dari tim Monitoring dan Evaluasi Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, menilai Parepare Makkita sebagai kegiatan fasilitasi yang solid dan potensial untuk direplikasi. “Kegiatan ini berhasil menyatukan unsur pengabdian, edukasi, dan pelibatan komunitas. Ini model yang patut dicontoh,” katanya.
Luaran kegiatan ini akan diterbitkan oleh IPN Press, dan diluncurkan secara resmi pada 8 September 2025 di Perpustakaan Daerah Kota Parepare.
Dengan pendekatan yang kolaboratif dan kontekstual, Suhartina membuktikan bahwa pengabdian dosen dapat menjadi motor penggerak pelestarian budaya melalui literasi yang hidup dan menyentuh akar masyarakat. (Irm/Tin)