Humas IAIN Parepare — Sulvinajayanti, Kepala Pusat Pengembangan Standar dan Akreditasi IAIN Parepare, resmi meraih gelar doktor dalam Sidang Terbuka Ujian Akhir Disertasi Doktor Universitas Hasanuddin, Rabu (20/8/2025). Disertasi berjudul “Model Komunikasi Berbasis Budaya Lokal dan Opinion Leader dalam Membangun Moderasi Beragama di Sulawesi Selatan” ini memperoleh apresiasi tinggi dari para penguji. Sidang dipimpin oleh Prof. Suparman
Wakil Dekan Bidang Kemitraan, Riset, Inovasi dan Alumni. Sulvinajayanti dibimbing langsung oleh Promotor Prof. Tuti Bahfiarti, dan Ko-Promotor H. M. Iqbal Sultan.
Disertasi tersebut berpijak pada gagasan bahwa budaya lokal dan opinion leader merupakan dua pilar strategis dalam membangun moderasi beragama di masyarakat multikultural. Penelitian mengambil studi kasus di Parepare dan Tana Toraja. Di Parepare, nilai Sipakatau , Sipakalebbi , dan Sipakainge berpadu dengan tradisi Tudang Sipulung sebagai etika dialog dan resolusi konflik. Sementara di Tana Toraja, adat Tongkonan serta ritus Rambu Solo’ dan Ma’kombongan berfungsi sebagai instrumen pemersatu solidaritas lintas-iman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai budaya di kedua daerah tersebut tetap hidup dan relevan sebagai legitimasi sosial dalam membangun toleransi. Sulvinajayanti berhasil mengidentifikasi tujuh kategori opinion leader yang berperan aktif dalam siklus komunikasi strategis: mediasi, edukasi, negosiasi, dan konfirmasi. Temuan ini kemudian diolah menjadi model inovatif yang ia sebut Hepta Helix of Local-Value-Based Religious Moderation.
Keampuhan model ini teruji dalam berbagai kasus nyata, seperti resistensi terhadap pendirian Sekolah Kristen Gamaliel di Parepare maupun praktik Rambu Solo’ di Tana Toraja. Melalui perpaduan nilai budaya lokal, kolaborasi multiaktor, dan pemanfaatan media tatap muka maupun digital, konflik berhasil diredam dan kepercayaan sosial ( social trust ) dapat dipulihkan.
Dalam pernyataannya, Sulvinajayanti menegaskan “Saya berharap model ini dapat menjadi sumbangan nyata bagi bangsa, khususnya dalam menjaga persatuan. Kearifan lokal bukan sekadar warisan, melainkan instrumen hidup yang efektif untuk membangun harmoni.”
Sejalan dengan itu, penguji eksternal Prof Iswandi Syahputra, Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus Staf Ahli Hubungan Kelembagaan Keagamaan Kementerian Agama RI, menyatakan bahwa penelitian ini memperkaya teori komunikasi inovasi dan stakeholder dengan mengintegrasikan konteks budaya lokal.
Hasil penelitian ini memiliki implikasi luas. Pertama, dapat menjadi panduan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan pemerintah daerah dalam merancang intervensi berbasis nilai lokal. Kedua, model ini dapat diadopsi sebagai strategi cultural public relations dalam kampanye toleransi digital serta sebagai kerangka program dialog lintas-iman berbasis komunitas.
Dari sisi kebijakan, model ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals (SDGs) ke-16 yang menekankan perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang inklusif. Sulvinajayanti pun merekomendasikan agar model ini dijadikan landasan untuk memperkuat program moderasi beragama berbasis komunitas sekaligus instrumen evaluasi kebijakan di tingkat lokal. (Irm/Mif)