Humas IAIN Parepare --Gedung Rektorat Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) di Depok, Rabu pagi, (29/10/2025, tampak lebih ramai dari biasanya. Ratusan intelektual, peneliti, dan mahasiswa dari dalam dan luar negeri berkumpul—dengan satu visi: merumuskan kembali masa depan peradaban global melalui dialog keilmuan bertema Islam, sains, dan teknologi.
Konferensi internasional Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+) 2025 resmi dibuka oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. Ajang yang semula bernama AICIS ini memasuki usia ke-24 tahun, namun tahun ini hadir dengan wajah baru: penambahan simbol “plus” yang menyiratkan lompatan besar dalam arah konferensi.
“Plus itu menandai keberanian kita menembus batas disiplin ilmu,” kata Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Prof. Dr. Amien Suyitno, M.Ag dalam sambutan pembukaan. Baginya, integrasi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan bukan lagi cita-cita abstrak, melainkan agenda aksi yang menuntut kolaborasi global.

Transformasi AICIS+ sejalan dengan Asta Cita Presiden dan Asta Protas Menteri Agama, dua dokumen kebijakan yang menekankan pembangunan manusia unggul dan masa depan bumi yang berkelanjutan. Karena itu, tema besar tahun ini pun tegas: Integrasi Ilmu Keislaman dengan Sains dan Teknologi untuk Peradaban Global Berkelanjutan.
Respon akademisi dunia terhadap agenda baru ini tak main-main. Sebanyak 2.434 abstrak dari 31 negara diterima panitia. Hanya sekitar 230 naskah terbaik yang dipilih panitia untuk dipresentasikan.    “Ini membuktikan AICIS+ kini lebih selektif. Mutu adalah taruhan utama,” ujar Amien.
Tak hanya para profesor dan doktor yang tampil. PTKI Research dan Madrasah Science Expo menjadi panggung bagi para peneliti muda untuk unjuk karya. Mereka menunjukkan bagaimana riset sains bisa berpadu dengan nilai-nilai Islam sejak bangku madrasah. Integrasi ilmu bukan konsep yang hanya hidup di seminar—melainkan sudah tumbuh di laboratorium pelajar.
Amien memberi contoh sederhana: pendidikan kedokteran di kampus keagamaan Islam Negeri (PTKIN). “Yang membedakannya adalah etika dan spiritualitas Islam yang menyertai setiap praktik ilmiah,” ujarnya. Ia menyebut nama-nama legendaris seperti Ibnu Sina dan Al-Khwarizmi sebagai saksi sejarah bahwa ilmu pengetahuan dan iman pernah berjalan seiring, dan kini harus kembali dipertemukan.

Foto : Peserta AICIS+ 2025
AICIS+ 2025 pun menjadi semacam rapor terbuka pendidikan Islam Indonesia kepada dunia internasional. Dari Depok, Indonesia ingin menyampaikan pesan: Islam dan kemajuan sains tak pernah menjadi dua kutub yang bertentangan. Keduanya justru saling menguatkan untuk menjawab tantangan kemanusiaan hari ini—mulai dari krisis iklim hingga etika kecerdasan buatan.
Selama tiga hari ke depan, para ilmuwan dan pemikir lintas negara akan menjalin dialog, merumuskan solusi, dan membangun jejaring pengetahuan yang lebih inklusif. AICIS+ bukan sekadar konferensi—ia adalah upaya kolektif meredefinisi arah peradaban.
Atas nama panitia dan pemerintah, Amien menutup sambutannya dengan ucapan yang terdengar seperti doa sekaligus harapan: “Semoga dari sini, lahir gagasan yang tak hanya mengisi lembar jurnal, tetapi menuntun manusia menjaga dunia.” (*)
Penulis : Alfiansyah Anwar dan Tasrif
Editor : Suherman Syach