Opini -- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memainkan peran sentral dalam menentukan arah sistem ketatanegaraan Indonesia melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan hari ini. Dalam amar putusan tersebut, MK memutuskan bahwa pelaksanaan pemilu serentak dibagi menjadi dua rumpun besar: Pemilu Serentak Nasional (untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD) serta Pemilu Serentak Daerah (untuk memilih DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan kepala daerah).
Selain itu yang menarik dalam Putusan MK ini yaitu MK menyatakan bahwa pemilu serentak harus diselenggarakan dengan model serentak nasional dan serentak daerah dengan jeda paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden. Pemilu serentak daerah untuk memilih gub, bup/walikota, DPRD prov, dan DPRD kab/kota.
Putusan ini menandai babak baru dalam sejarah sistem pemilu kita, yang sebelumnya digerakkan oleh desain serentak total (simultaneous election) sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013. Namun, apakah pembagian ini merupakan langkah maju menuju efektivitas demokrasi elektoral atau justru sebuah kompromi konseptual atas ide serentak yang sebelumnya dikukuhkan?
MK dalam putusan terbarunya tampaknya merevisi pendekatan serentak yang dulu sangat ketat, dengan membagi dua jenis pemilu berdasar karakter kewenangan dan tingkat pemerintahan. Ini merupakan kompromi konstitusional atas kebutuhan teknis penyelenggaraan yang dinilai kompleks dan penuh beban manajerial.
Dalih MK cukup beralasan. Penggabungan seluruh jenis pemilu dalam satu waktu, sebagaimana dilakukan pada Pemilu 2019 dan 2024, memang menciptakan banyak persoalan. Mulai dari kelelahan penyelenggara hingga banyaknya petugas pemilu yang meninggal dunia, serta kesulitan pemilih dalam memahami lima surat suara sekaligus. Maka, pemisahan antara pemilu nasional dan daerah dipandang sebagai solusi untuk menjaga kualitas demokrasi tanpa mengorbankan aspek efisiensi dan representasi.
Namun, dari sudut pandang konstitusional, perubahan tafsir ini menarik untuk dikritisi. Dalam Putusan 14/PUU-XI/2013, MK sebelumnya menegaskan bahwa pelaksanaan pemilu secara serentak merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang berdaulat dalam satu waktu. Dengan demikian, pertanyaan muncul: apakah pemisahan ini tetap konsisten dengan prinsip tersebut, atau telah terjadi kontradiksi tafsir di internal MK?
Putusan ini memberikan peluang untuk menata ulang arsitektur demokrasi elektoral kita. Pemilu nasional yang terpisah dari pemilu daerah memungkinkan publik untuk lebih fokus dalam menilai dan memilih kandidat, baik di tingkat nasional maupun lokal. Beban pemilih akan lebih ringan, dan peluang kampanye yang substantif lebih terbuka.
Lebih dari itu, pemisahan ini membuka jalan untuk penguatan sistem presidensial yang stabil. Dengan pemilu legislatif nasional dan pemilu presiden dilakukan serentak, maka efek ekor jas (coattail effect) masih dapat dipertahankan, mendorong kohesi antara presiden terpilih dan dukungan politik di parlemen.
Di sisi lain, pemilu daerah yang terpisah juga berpotensi meningkatkan otonomi lokal dalam pengambilan keputusan. Kepala daerah dan DPRD tidak lagi berada dalam bayang-bayang kepentingan elektoral nasional, dan masyarakat dapat lebih menilai rekam jejak para kandidat lokal tanpa bayang-bayang isu-isu nasional.
Namun, menurut penulis peluang ini juga menyisakan tantangan besar. Pertama, adalah soal konsistensi dan kejelasan regulasi. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta UU Pilkada perlu direvisi untuk mengakomodasi skema baru ini. Tanpa revisi menyeluruh, tumpang tindih norma dan jadwal akan menjadi masalah konstitusional baru.
Kedua, kesiapan lembaga penyelenggara pemilu KPU, Bawaslu, dan DKPP harus dikaji ulang. Dua pemilu serentak berarti dua puncak kerja besar dalam satu siklus lima tahunan. Sumber daya manusia, anggaran, logistik, serta sistem pengawasan harus disiapkan dua kali lipat. Jika tidak, kita hanya akan memindahkan kompleksitas dari satu titik ke dua titik.
Ketiga, soal partisipasi publik. Apabila pemilu daerah dilaksanakan di waktu yang berbeda dan tidak bersamaan dengan pemilu nasional, maka potensi partisipasi menurun sangat terbuka. Tanpa strategi komunikasi politik yang baik, pemilu daerah berisiko menjadi ajang yang tidak diminati, bahkan bisa memperlebar jurang apatisme politik di kalangan pemilih.
Putusan ini juga punya implikasi politis dalam konteks relasi pusat dan daerah. Di tengah semakin menguatnya sentralisasi kekuasaan terlihat dari dominasi elite nasional dalam pilkada melalui koalisi partai, putusan ini berpotensi menjadi ruang untuk menghidupkan kembali dinamika politik lokal. Namun, pada saat yang sama, elite nasional bisa saja menggunakan jeda antara dua pemilu ini untuk mengonsolidasikan kembali kekuatan mereka, memperkuat dominasi partai besar, dan mengerdilkan gerakan politik akar rumput.
Dalam konteks hubungan kekuasaan hari ini antara Presiden Prabowo Subianto dan para aktor politik seperti Luhut Binsar Pandjaitan atau Bahlil Lahadalia putusan MK ini bisa menjadi alat penataan ulang strategi politik menjelang 2029. Koalisi besar yang sedang terbentuk bisa membaca pemisahan pemilu ini sebagai peluang menancapkan pengaruh lebih jauh di daerah tanpa perlu menghadapi "distraction" dari pemilu nasional.
Putusan MK ini patut diapresiasi sebagai upaya kompromi antara idealisme konstitusi dan realitas praktik pemilu. Namun, ia juga menunjukkan bahwa arah desain ketatanegaraan kita belum sepenuhnya stabil dan konsisten. Dalam demokrasi yang matang, perubahan sistem pemilu seharusnya bersifat jangka panjang dan berkelanjutan, bukan respons sementara atas tekanan kerumitan teknis pemilu.
Ke depan, tantangan terbesar bukan hanya soal teknis pemilu, tapi membangun kesadaran politik bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur memilih, tetapi tentang bagaimana kekuasaan dijalankan dengan akuntabilitas, keterbukaan, dan keadilan. Dengan atau tanpa pemilu serentak, tujuan akhirnya tetap, kedaulatan rakyat yang nyata, bukan sekadar formalitas lima tahunan.