تخطي للذهاب إلى المحتوى

Diskualifikasi Semua Paslon, MK Bukan Lagi Mahkamah Kalkulator

Oleh : Rusdianto SudirmanDosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 313/PHP.BUP-XXIII/2025 yang mendiskualifikasi Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara Nomor Urut 1 Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo (Gogo-Helo) dan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 2 Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya (Agi-Saja) dari kepesertaan dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara Tahun 2024.


Putusan ini patut dicatat sebagai tonggak penting dalam sejarah Pilkada di Indonesia. Untuk pertama kalinya, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan sanksi terberat dengan mendiskualifikasi seluruh pasangan calon karena terbukti melakukan praktik politik uang secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Tak tanggung-tanggung, nilai transaksi per suara yang terungkap dalam sidang bahkan mencapai Rp16 juta. Angka fantastis ini mencerminkan bobroknya kontestasi elektoral di daerah tersebut dan mendesak adanya perombakan serius dalam budaya politik Pilkada kita.


Putusan ini menjadi kulminasi dari tafsir progresif Mahkamah atas Pasal 73 ayat (2) dan (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal tersebut secara tegas melarang calon kepala daerah memberi uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, dan membolehkan pembatalan sebagai pasangan calon apabila pelanggaran dilakukan secara TSM.


Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa praktik politik uang di Barito Utara bukanlah peristiwa sporadis, melainkan direncanakan, melibatkan struktur tim kampanye, serta menyasar pemilih secara luas. Bahkan, metode distribusi uang terkesan rapi dan terorganisir. Ini menunjukkan bahwa politik uang tak lagi sekadar “serangan fajar”, tetapi telah menjelma sebagai modus operandi utama untuk meraih kekuasaan.


Putusan ini secara eksplisit menempatkan MK sebagai penegak demokrasi, bukan lagi menjadi Mahkamah Kalkulator yang hanya bertumpu pada perhitungan selisih suara, tetapi juga pada prinsip integritas demokrasi. Ini penting, mengingat sebelumnya MK cenderung menolak permohonan sengketa hasil jika selisih suara tidak signifikan, meskipun terdapat dugaan pelanggaran berat. Kini, MK menegaskan bahwa kecurangan TSM dapat membatalkan hasil, bahkan tanpa perlu membandingkan selisih suara.


Dari sisi hukum, putusan ini menegaskan bahwa pembatalan calon kepala daerah karena politik uang dapat dilakukan bahkan setelah pemungutan suara dan penetapan hasil. Ini memperkuat yurisprudensi bahwa integritas proses lebih utama ketimbang hasil. Ke depan, hal ini dapat mendorong Bawaslu dan masyarakat untuk lebih aktif melaporkan praktik politik uang selama tahapan Pilkada, karena dampaknya kini benar-benar nyata yaitu diskualifikasi.


Namun demikian, putusan ini juga menimbulkan kekosongan hukum yang perlu segera direspons oleh pembentuk undang-undang. Pasca diskualifikasi seluruh pasangan calon, apa mekanisme pengisian kekuasaan yang paling demokratis? Apakah harus dilakukan pemilu ulang? Apakah pasangan calon baru boleh diusung oleh partai yang sebelumnya mencalonkan kandidat pelanggar? UU Pilkada tidak memberikan jawaban yang pasti atas skenario ekstrem seperti ini.


Selain itu, kita perlu mencermati potensi “normalisasi” politik uang sebagai risiko balik dari putusan ini. Bayangkan jika ke depan ada pihak yang sengaja menyusupkan dana ke tim lawan untuk menjebak mereka dalam pelanggaran TSM. Tanpa pengawasan yang ketat dan penilaian objektif, putusan semacam ini bisa dijadikan alat eliminasi politik yang licik.


Pilkada serentak yang akan menjadi agenda 5 tahunan di daerah. Putusan Barito Utara harus menjadi peringatan keras bagi seluruh pihak yang ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah, kemenangan elektoral tidak sah jika diperoleh dengan cara haram. Ini juga menjadi cermin bagi partai politik dalam melakukan rekrutmen calon. Sudah saatnya parpol tidak lagi menjadikan “isi tas” sebagai pertimbangan utama dalam memberikan rekomendasi, tapi benar-benar menyeleksi calon berdasarkan kapasitas, integritas, dan rekam jejak.


Lebih jauh, putusan ini semestinya menjadi momentum untuk membangun sistem pembuktian politik uang yang lebih efektif. Selama ini, beban pembuktian yang tinggi dan keterbatasan kewenangan Bawaslu menjadi penghambat utama. MK dalam putusan ini tampak mulai membuka ruang untuk menilai bukti secara holistik, termasuk rekaman, testimoni berantai, hingga pola distribusi uang yang mencurigakan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pembuktian dalam hukum administrasi dan tata negara, yang lebih fleksibel daripada hukum pidana.


Di sisi lain, integritas pemilu juga sangat tergantung pada kualitas penyelenggara. KPU dan Bawaslu harus berani menindak tegas setiap laporan, tanpa takut pada tekanan politik atau risiko keamanan. Perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi pelanggaran elektoral juga mendesak untuk diperkuat agar keberanian mereka tidak berujung pada intimidasi.


Putusan MK dalam perkara Barito Utara bukan sekadar diskualifikasi calon. Ia adalah manifestasi dari perlawanan institusional terhadap korupsi politik yang kian membudaya. Lebih dari itu, ia adalah sinyal bahwa demokrasi Indonesia belum sepenuhnya mati rasa. Tetapi tanpa pembaruan regulasi, pendidikan politik yang masif, dan keteladanan elite, putusan ini bisa tinggal sejarah, bukan lompatan peradaban.


Jika Pilkada adalah jalan menuju kekuasaan, maka jalan itu harus bebas dari praktik jual beli. Jika tidak, kita akan terus menuai pemimpin yang lahir dari uang, bukan dari legitimasi rakyat. (*)

في رأي
Dari Ruang Redaksi ke Ruang Digital: Saatnya KPI Melek Media Sosial