Opini - Delapan puluh tahun lkemerdekaan Indonesia menjadi tonggak bersejarah yang tidak hanya dimaknai sebagai lepasnya bangsa ini dari belenggu kolonialisme, tetapi juga sebagai janji bersama untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang adil, setara, dan bermartabat. Janji itu tertuang dengan tegas dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Namun, janji luhur itu menghadapi ujian serius yaitu intoleransi. Fenomena ini, yang tumbuh subur dalam ruang sosial, politik, hingga ruang digital, menjadi penghambat nyata bagi cita-cita persatuan dan kedaulatan bangsa. Ironisnya, intoleransi sering dikemas dengan dalih kelompok mayoritas, kebebasan berpendapat atau klaim kebenaran agama dan ideologi. Padahal, ia justru bertentangan dengan fondasi negara yang berlandaskan Pancasila.
Kedaulatan tidak hanya berarti berdaulat secara politik atau ekonomi. Ia juga berarti berdaulat dalam menjaga kebhinekaan, yakni kemampuan negara dan masyarakat untuk melindungi perbedaan yang melekat dalam diri bangsa. Intoleransi menggerus sendi-sendi itu.
Kita menyaksikan bagaimana kasus pelarangan pendirian rumah ibadah, diskriminasi berbasis agama dan keyakinan, serta ujaran kebencian bernuansa SARA terus berulang, bahkan di Kota Parepare penolakan pendirian sekolah Kristen. Komnas HAM mencatat, setiap tahun kasus intoleransi tidak pernah benar-benar surut, hanya berganti wajah. Fenomena ini, jika dibiarkan, adalah ancaman langsung terhadap sila ketiga Pancasila Persatuan Indonesia.
Dalam perspektif hukum tata negara, intoleransi berpotensi merusak legitimasi negara. Negara yang gagal melindungi hak-hak warga negaranya, termasuk hak untuk beragama, berkeyakinan, dan berserikat serta memperoleh pendidikan pada akhirnya kehilangan otoritas moral di mata rakyat. Kedaulatan rakyat yang menjadi dasar demokrasi kita akan tereduksi ketika sebagian warganya merasa menjadi “orang asing” di negeri sendiri.
Menarik untuk melihat intoleransi sebagai bentuk lain dari kolonialisme. Jika kolonialisme klasik menjajah bangsa melalui eksploitasi ekonomi dan politik, intoleransi adalah kolonialisme sosial yang menjajah pikiran dan ruang hidup warga negara. Ia menindas kelompok minoritas, menyingkirkan perbedaan, dan menumbuhkan hierarki palsu tentang siapa yang lebih “asli” atau lebih “berhak” menjadi bagian dari bangsa.
Padahal, para pendiri bangsa sejak awal menyadari bahwa Indonesia hanya bisa berdiri jika ia menerima keragaman sebagai kekuatan. Mohammad Hatta menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Eropa, karena ia tidak dibangun atas dasar kesamaan ras, agama, atau bahasa, melainkan atas dasar kehendak untuk hidup bersama. Artinya, setiap tindakan intoleran adalah pengkhianatan terhadap semangat kemerdekaan itu sendiri.
Tema kemerdekaan “bersatu berdaulat” menemukan relevansinya ketika kita berbicara tentang intoleransi. Bersatu berarti menerima perbedaan sebagai kodrat bangsa. Berdaulat berarti tidak tunduk pada narasi kebencian yang mencoba menguasai ruang publik.
Menurut penulis setidaknya Ada tiga langkah strategis yang perlu ditegaskan untuk melawan intoleransi. Pertama,Reformasi Regulasi dan Penegakan Hukum, Peraturan bersama menteri (PBM) soal rumah ibadah, misalnya, telah berulang kali dikritik karena membuka ruang bagi mayoritarianisme lokal. Regulasi semacam ini seharusnya direvisi agar negara hadir sebagai pelindung hak, bukan sekadar penengah konflik. Aparat penegak hukum juga mesti tegas menindak ujaran kebencian berbasis SARA tanpa pandang bulu.
Kedua, Pendidikan Kewargaan yang Substantif. Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan di sekolah maupun perguruan tinggi tidak boleh berhenti pada hafalan sila dan pasal. Ia harus menumbuhkan kesadaran kritis bahwa intoleransi adalah bentuk pengingkaran terhadap konstitusi. Generasi muda perlu dilatih untuk menghargai perbedaan, bukan sekadar mentolerirnya.
Ketiga, Gerakan Sosial Kebhinekaan. Negara tidak bisa sendirian. Organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi, media, dan komunitas keagamaan harus mengambil peran aktif dalam membangun ruang publik yang sehat. Di era digital, kampanye kebhinekaan perlu lebih kreatif, melawan arus propaganda kebencian yang masif di media sosial.
Kemerdekaan bukanlah garis akhir, melainkan proses yang terus diperjuangkan. Ancaman intoleransi mengingatkan kita bahwa kolonialisme bisa hadir dalam bentuk baru yang lebih halus, lebih berbahaya, karena merusak dari dalam.
Bersatu berdaulat melawan intoleransi berarti menjaga api kemerdekaan tetap menyala. Persatuan bukanlah keseragaman, melainkan tekad untuk hidup bersama dalam keberagaman. Kedaulatan bukan sekadar soal teritorial, melainkan juga kedaulatan untuk mengatakan “tidak” pada diskriminasi dan kekerasan berbasis identitas.
Para pendiri bangsa telah memberi teladan. Kini tugas kita melanjutkan dengan memastikan bahwa intoleransi tidak mendapat tempat di bumi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata. Sebab, tanpa kebhinekaan yang dijaga, kemerdekaan hanyalah slogan kosong.