تخطي للذهاب إلى المحتوى

“Di Mana Suara Tertahan Menemukan Rumah: Empati sebagai Wajah Baru Kepahlawanan” Refleksi Hari Pahlawan dalam Perspektif Komunikasi Interpersonal Carl Rogers

Oleh : Sri Rahayu Andira (Dosen Jurnalistik Islam)
10 نوفمبر 2025 بواسطة
“Di Mana Suara Tertahan Menemukan Rumah:  Empati sebagai Wajah Baru Kepahlawanan” Refleksi Hari Pahlawan dalam Perspektif Komunikasi Interpersonal Carl Rogers
Humas IAIN Parepare
Di mana suara tertahan menemukan rumah, di sanalah empati bekerja sebagai pahlawan yang tak berpedang. Ia tidak menaklukkan musuh, melainkan ketakutan yang bersemayam dalam dada seseorang. Ia tidak memerintah, tetapi memeluk dengan pemahaman. Dan pada ruang sunyi itu, suara yang selama ini tertahan akhirnya berani pulang, karena ada telinga yang tidak menghakimi dan hati yang bersedia menjadi tempatnya berteduh.
Pagi itu, setelah pembelajaran diakhiri, seorang mahasiswi duduk di hadapan saya dengan tatapan seperti mendung menyimpan hujan. Ia bercerita dengan suara yang nyaris tak terdengar, tentang kegagalan yang membuatnya merasa tidak layak, tentang mimpi yang patah sebelum sempat tumbuh, dan tentang tekanan yang membuat langkahnya goyah. Ia perempuan muda yang cerdas, tetapi ingatan tentang kegagalan membuatnya seperti berjalan sambil memanggul batu yang tak tampak.

“Saya sudah mencoba, Bu… tapi sepertinya saya selalu salah.”
Kalimat itu runtuh seperti daun kering. Beberapa menit kemudian, ia menghela napas panjang, seakan menemukan kembali ruang bernapas yang hilang. Rupanya ia tak lagi sanggup menyimpannya lebih lama. Setelah saya memberi pertanyaan pembuka di awal pembelajaran. “Pernahkah kalian memilih jujur untuk sesuatu yang terasa berat?”
Saat ia keluar dari ruangan, di situlah gagasan Carl Rogers menemukan relevansinya. Dalam teori komunikasi interpersonal humanistik, Rogers menekankan bahwa pemahaman empatik (empathic understanding) merupakan inti dari perjumpaan manusia. Komunikasi tidak hanya tentang pesan yang disampaikan, tetapi tentang keberanian menyelami dunia batin orang lain. Di tengah derasnya informasi dan hiruk-pikuk pendapat yang saling bersilang, kemampuan untuk mendengar secara utuh adalah tindakan heroik.

Bagi banyak mahasiswa, terutama mahasiswa perempuan yang pernah gagal, dunia akademik sering terasa seperti ruang yang meminta kesempurnaan. Mereka memikul bayangan standar yang berat, sering kali tanpa tempat aman untuk merapikan hati. Maka ketika seseorang mau mendengarkan, bukan hanya memberi instruksi atau solusi, itu menjadi pengalaman yang menyembuhkan. Mendengar dapat mengembalikan keyakinan yang hilang, sekaligus membuka jalan baru untuk tumbuh.

Kepahlawanan tidak selalu datang dari tindakan besar. Kadang ia tercipta dari keberanian kecil. Keberanian merendahkan suara kita agar suara orang lain dapat terangkat. Keberanian memperlambat langkah agar seseorang yang tersesat bisa menemukan arah. Keberanian menjadi telinga ketika dunia terlalu bising untuk memberi ruang. Kepahlawanan berakar dari kemampuan paling sederhana namun paling jarang dilakukan: menjadi manusia yang mampu mendengarkan.
Hari Pahlawan mengingatkan kita bahwa keberanian tidak selalu tampil megah. Kepahlawanan hari ini boleh jadi bukan tentang mengangkat senjata, melainkan tentang menurunkan ego. Bukan tentang memenangkan debat, tetapi tentang memahami sebelum memutuskan. Bukan tentang berbicara sepanjang waktu, tetapi tentang menyediakan keheningan yang menenangkan.

Di ruang kelas, di tengah masyarakat, atau bahkan dalam keluarga, kepahlawanan dapat berupa kemampuan memberi tempat bagi suara yang nyaris tak terdengar. Empati adalah lentera; ia menerangi tanpa menghakimi. Dan dalam dunia yang serba cepat, melambat untuk mendengarkan adalah bentuk perjuangan yang tak kalah mulia.

Jika kita menengok kembali sejarah, para pahlawan bangsa bukan hanya dikenang karena keberanian mereka mengangkat senjata, tetapi juga karena kepekaan mereka terhadap jerit yang tak terdengar. Para pahlawan mampu membaca kegelisahan rakyat, memahami luka yang disembunyikan, dan mendengarkan suara-suara yang tak berdaya. Mereka hadir bukan hanya sebagai pembebas, tetapi juga sebagai penampung harapan. Di sinilah empati menjadi fondasi dari setiap tindakan besar yang mereka lakukan.

Maka pada Hari Pahlawan ini, marilah kita rayakan keberanian yang sunyi itu, keberanian untuk menjadi pendengar. Sebab bangsa yang dihuni oleh para pendengar empatik adalah bangsa yang lebih mampu tumbuh, berdamai, dan memberdayakan.

في Opini
Inklusi Sosial sebagai Bentuk Kepahlawanan
Oleh : Badruzzaman Nawawi (Dosen HTN IAIN Parepare)