تخطي للذهاب إلى المحتوى

Membongkar Ilusi Perlindungan dalam Perspektif Syariah

Oleh: Astia Amanda (Studi Akuntansi Syariah, IAIN Parepare)
27 أكتوبر 2025 بواسطة
Membongkar Ilusi Perlindungan dalam Perspektif Syariah
Humas IAIN Parepare

“Ketika rumah yang seharusnya menjadi ruang perlindungan justru berubah menjadi tempat kekerasan, maka yang hancur bukan hanya tubuh korban, tetapi juga rasa aman dan kepercayaan.”

Pernyataan Ketua Komnas Perempuan ini mengguncang nurani: di negeri yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, masih banyak yang hidup dalam rasa aman yang semu. Kita sedang dihadapkan pada ironi: rumah yang mestinya jadi benteng kasih sayang, justru berubah menjadi ruang luka.

Data Komnas Perempuan 2024 mencatat lebih dari 2.700 kasus kekerasan seksual dalam keluarga, dan sebagian besar pelakunya adalah orang terdekat korban. Fenomena ini memperlihatkan bahwa yang rusak bukan hanya tubuh, tapi juga sistem nilai yang seharusnya melindungi. UU TPKS 2022 memang memperberat hukuman, namun banyak korban tetap memilih diam karena tekanan sosial dan stigma.

Penelitian Zul Khaidir Kadir (2025) menemukan bahwa pelaku sering memanfaatkan kedekatan emosional untuk menekan korban. Kedekatan yang seharusnya melindungi justru menjadi alat pengendalian. Dalam perspektif akuntansi syariah, hal ini adalah bentuk pengkhianatan amanah seperti pengelola dana umat yang menyalahgunakan kepercayaan untuk keuntungan pribadi.

Sayangnya, sebagian masyarakat masih menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai urusan privat. Padahal, sebagaimana akuntansi syariah menuntut transparansi dan pertanggungjawaban (hisab), kejahatan seksual pun harus dibuka agar keadilan sosial dapat ditegakkan. Diam berarti turut mempertahankan ilusi perlindungan.

Lebih jauh, di ruang digital, rasa “aman palsu” itu semakin kompleks. Studi Zahra dkk. (2024) menunjukkan bahwa 60% korban kekerasan seksual daring mengalami trauma jangka panjang dan kehilangan kepercayaan terhadap ruang publik. Dunia maya yang semestinya memperluas silaturahmi, kini menjadi ruang manipulasi di mana pelaku dapat bersembunyi di balik identitas palsu.

Dalam pandangan syariah, perlindungan terhadap jiwa (hifz al-nafs) dan kehormatan (hifz al-‘ird) adalah prinsip utama. Al-Qur’an menegaskan:

“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi...” (QS. Al-An’am: 151)

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini mencakup larangan terhadap segala bentuk kezaliman tersembunyi, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan di balik tembok rumah atau layar gawai. Kekerasan yang disamarkan tetaplah kezaliman yang merusak martabat manusia.

Fenomena ini, jika dilihat dari kacamata akuntansi syariah, ibarat laporan keuangan yang tampak rapi namun penuh manipulasi. Tugas kita sebagai masyarakat adalah menjadi auditor sosial menyingkap kecurangan, menolak tutup mata, dan memastikan keadilan ditegakkan. Namun keadilan tidak cukup ditegakkan lewat hukum. Diperlukan pendekatan sosial dan spiritual:

1. Konseling berbasis masjid dan pendampingan psikologis bernuansa religius.

2. Edukasi digital bagi remaja dan orang tua untuk mengenali pola kekerasan daring.

3. Gerakan zero tolerance terhadap kekerasan di sekolah, rumah, dan komunitas keagamaan.

Di sinilah semangat Sumpah Pemuda menemukan relevansinya kembali. Pemuda masa kini tak hanya bersatu dalam bahasa dan tanah air, tetapi juga dalam komitmen melindungi martabat sesama. Persatuan bukan sekadar simbol kebangsaan, tetapi juga tekad untuk menciptakan ruang aman bagi semua warga, terutama perempuan dan anak.

Bangsa yang besar bukan hanya yang merdeka dari penjajahan, tetapi juga dari rasa takut dan diam.

Mari, sebagai generasi muda yang mewarisi semangat Sumpah Pemuda, kita berani membongkar ilusi perlindungan dan membangun Indonesia yang benar-benar aman, adil, dan berkeadaban, sebagaimana nilai-nilai syariah yang kita yakini.


Biodata Penulis:

Astia Amanda lahir di Pinrang, 12 Mei 2007. Ia merupakan mahasiswa Program Studi Akuntansi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Parepare. Harapannya, setiap perempuan di Indonesia dapat memperoleh perlindungan yang adil dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai syariah serta terbebas dari segala bentuk kekerasan, baik di ruang privat maupun ruang digital.

 

 

 

في رأي
Nasionalisme Religius, Perekat Indonesia yang Beragam
Oleh: Amelia, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab, IAIN Parepare